Catatan

Ketika (Tak) lagi Berkuasa

Herman Oesman

Di banyak kasus, ketika seorang pemimpin tak lagi berkuasa, jaringan sosialnya mengalami erosi. Para “pengikut setia” acapkali berpaling karena loyalitas mereka berbasis kepentingan.

Fenomena ini tampak jelas di negara-negara demokrasi elektoral, termasuk Indonesia, di mana politisi yang kalah pemilu dengan cepat kehilangan lingkaran pengaruhnya.

Hilangnya kekuasaan tidak hanya soal status sosial, tetapi juga krisis identitas. Identitas sosial seseorang dibentuk melalui “pertunjukan” di hadapan publik (Goffman, 1959: 112).

Seorang pemimpin yang terbiasa tampil sebagai pusat perhatian akan mengalami “disorientasi peran” ketika panggung itu direbut orang lain. Ia tidak hanya kehilangan jabatan, melainkan juga peran sosial yang telah membentuk jati dirinya.

Krisis identitas ini kerap menjelma dalam bentuk nostalgia atau upaya mempertahankan pengaruh melalui jalur informal.

Kita bisa melihat fenomena “mantan pejabat” yang tetap ingin dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, atau bahkan berusaha mengendalikan dari belakang layar. Dalam literatur politik, hal ini disebut sebagai shadow power (Higley & Burton, 2006: 97).

Tak (lagi) berkuasa juga kerap diikuti dengan munculnya perlawanan dalam bentuk berbeda. Di sinilah muncul “senjata orang kalah” sebagai praktik resistensi sehari-hari yang tidak frontal, tetapi terus-menerus mengikis legitimasi kekuasaan baru (Scott, 1985: 16).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...