Catatan

Ketika (Tak) lagi Berkuasa

Herman Oesman

Oleh: Herman Oesman
(Dosen Sosiologi FISIP UMMU)

"Kekuasaan sejati bukanlah dominasi, melainkan kemampuan untuk bertindak bersama dan menciptakan ruang publik yang setara" (Hannah Arendt, 1970: 44).

Kekuasaan selalu menjadi arena yang sarat dengan perebutan, negosiasi, dan pengaruh. Tetapi lebih menarik lagi adalah momen ketika kekuasaan itu berakhir.

Saat seseorang atau sebuah rezim tidak lagi memegang kendali, yang muncul bukan hanya kehilangan otoritas politik, melainkan juga krisis identitas, perubahan relasi sosial, bahkan transformasi makna dalam kehidupan bermasyarakat.

Karena itu kekuasaan, tidak semata-mata berwujud dalam jabatan, melainkan melekat dalam relasi sosial sehari-hari (Foucault, 1978: 93).

Karenanya, “ketika (tak) lagi berkuasa” bukan hanya peristiwa politik, melainkan juga fenomena sosiologis yang menyingkap tabiat dasar manusia dalam berhubungan dengan struktur sosial.

Max Weber menyebut kekuasaan (Macht) sebagai kemampuan seseorang untuk memaksakan kehendaknya meskipun menghadapi perlawanan (Weber, 1947: 152). Kekuasaan memberi fasilitas, akses, bahkan legitimasi untuk mengatur kehidupan sosial.

Namun, ketika kekuasaan itu hilang, orang atau kelompok yang sebelumnya berpengaruh kerap menghadapi kenyataan bahwa relasi sosialnya dibangun di atas posisi dominan, bukan pada solidaritas tulus.

Hal ini sejalan dengan sebuah pemikiran, yang menegaskan bahwa elit kekuasaan hanya bertahan selama mereka memiliki akses pada institusi ekonomi, politik, dan militer. Setelah itu, mereka dapat dengan cepat tersingkir dari pusat pengaruh (Mills, 1956: 4).

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...