Demokrasi Dihabisi Nafsu Elit Partai

Tetapi ketika lembaga-lembaga, khususnya partai politik dan DPR, melemahkan fungsinya, demokrasi terjerumus dalam kehampaan. Jimly Asshiddiqie pernah mengingatkan, partai rakus yang menguasai seluruh proses pemerintahan akan menenggelamkan demokrasi ke dalam “lalu lintas kepentingan” para elit.
Kini, partai politik semakin menampakkan diri sebagai kendaraan kekuasaan semata. Koalisi dibangun bukan atas kesamaan visi dan misi, melainkan atas kalkulasi keuntungan politik dan materi.
Transaksi kekuasaan berlangsung di ruang tertutup, sementara rakyat hanya disuguhi sandiwara di layar televisi. Rakyat yang dahulu diyakinkan dengan janji kesejahteraan, kini menjadi penonton setia drama politik transaksional.
DPR sebagai perpanjangan tangan rakyat mestinya menjadi benteng demokrasi. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya: banyak anggota dewan lebih setia pada partai dan elite pengusung daripada kepada rakyat yang memilihnya.
Ketika kebijakan-kebijakan kontroversial diajukan, DPR seringkali abai terhadap aspirasi publik. Revisi UU KPK, pengesahan UU Cipta Kerja, hingga revisi sejumlah undang-undang strategis lainnya dilakukan terburu-buru, minim transparansi dan partisipasi, bertentangan dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur UU No.12/2011.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menegaskan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Namun, ketidakpastian hukum justru kian nyata akibat inkonsistensi DPR dalam menjalankan fungsinya. Suara rakyat yang menolak baik lewat demonstrasi di jalan maupun kritik di media sosial berulang kali diabaikan. Pasal 28E ayat (3) yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat seolah menjadi hiasan belaka.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar