Wajah Kusam Demokrasi Indonesia: Monarki Bertopeng Presidensial

Inilah yang kita saksikan: presiden menjelma “raja tanpa mahkota”, menyiapkan “putra mahkota” politik, mengatur suksesi dengan tangan tak terlihat. Kritik dibungkam dengan dalih pencemaran nama baik; media dijinakkan; oposisi dilumpuhkan.
Fenomena dinasti politik adalah gejala paling gamblang. Garis keturunan dan kedekatan dengan lingkar istana menjadi tiket emas menduduki jabatan strategis. Pemilu bukan lagi arena kompetisi gagasan, melainkan ajang legitimasi kekuasaan yang telah didesain.
Meritokrasi ditumbangkan, regenerasi politik menjadi ilusi. Di balik mekanisme pemilu dan jargon partisipasi rakyat, tersimpan arsitektur kekuasaan yang terpusat dan bahkan cenderung diwariskan.
Presidensialisme yang seharusnya menjaga keseimbangan kekuasaan justru berubah menjadi monarki modern berkostum republik.
Topeng presidensial menutupi wajah asli kekuasaan yang semakin otoriter, meski tetap menjaga estetika demokrasi: pemilu, kampanye, debat publik, dan survei elektabilitas. Dibalik semua itu, kekuasaan lama yang sentralistik, patronistik, dan feodal terus berlanjut.
Jika demokrasi hanya dibiarkan hidup dari kosmetika elektoral, jarak antara negara dan warga akan semakin melebar. Rakyat merasa dijadikan alat legitimasi, bukan subjek kekuasaan.
Ketika presiden tak lagi sekadar pemimpin lima tahunan melainkan simbol dinasti yang hendak dipertahankan, demokrasi yang kita agung-agungkan sejatinya telah dikorbankan.
Baca Halaman Selanjutnya..





Komentar