Wajah Kusam Demokrasi Indonesia: Monarki Bertopeng Presidensial

Demokrasi menjadi sekadar kosmetika elektoral pemilu tetap digelar, partai tetap eksis, tetapi keputusan penting ditentukan segelintir elite dan jejaring oligarki.
Teori post-democracy yang dikemukakan Colin Crouch relevan untuk menggambarkan gejala ini: demokrasi modern bergeser dari substansi menuju simbol.
Pemilu, kampanye, dan debat publik tetap berlangsung, tetapi proses pengambilan keputusan sesungguhnya terjadi di ruang tertutup, dikuasai elite kekuasaan dan korporasi. Dalam kondisi seperti ini, rakyat hanya penonton dalam sandiwara politik, sementara naskah sudah ditulis oleh aktor lama.
Robert A. Dahl menegaskan, demokrasi ideal memiliki dua karakter utama: partisipasi efektif dan kesetaraan dalam mempengaruhi keputusan. Dalam praktik Indonesia, partisipasi rakyat terbatas pada momen elektoral semata.
Selebihnya, politik dikuasai segelintir elite yang memainkan kekuasaan sebagai arena oligarki, bukan partisipasi rakyat. Lembaga legislatif berubah menjadi perpanjangan tangan eksekutif. Kekuasaan yudikatif dipoles agar tampak netral, namun independensinya kian diragukan.
Juan J. Linz dalam analisisnya mengenai presidensialisme mengingatkan bahaya konsentrasi kekuasaan bila mekanisme pengawasan lemah.
Ketika presiden mengendalikan partai mayoritas di parlemen, menundukkan lembaga hukum dan pengawas, serta memonopoli narasi publik lewat media, sistem presidensial mudah tergelincir menjadi kekuasaan nyaris absolut.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar