Huru-hara Cokaiba dan Jalan Fagogoru

Kritik yang disampaikan tanpa konteks dapat menimbulkan reaksi emosional, apalagi jika menyentuh hal-hal yang dianggap sakral.
Oleh karena itu, etika berdialog di media sosial menjadi sangat penting. Pendatang dan masyarakat lokal sama-sama dituntut untuk mengedepankan bahasa yang membangun, bukan bahasa yang memancing permusuhan.
Kita juga perlu mengakui bahwa setiap konflik yang timbul bukan semata karena “budaya” atau “pendatang”, tetapi karena kegagalan membangun komunikasi yang saling memahami.
Jika komunikasi terjalin baik, bahkan perbedaan nilai sekalipun dapat dijembatani. Sebaliknya, tanpa komunikasi, kesamaan pun bisa menjadi sumber perselisihan.
Oleh sebab itu, perayaan Cokaiba seharusnya menjadi momen penguatan persaudaraan, bukan pemicu perpecahan. Tradisi ini lahir dari niat mulia mengajak semua orang untuk berkumpul, berdzikir, dan memuliakan Nabi Muhammad SAW.
Semangat ini sejalan dengan ajaran Islam tentang ukhuwah, dan selaras pula dengan falsafah Fagogoru tentang saling memaafkan. Masyarakat Gamrange memiliki warisan budaya yang luar biasa.
Tugas generasi sekarang adalah memastikan warisan itu terus hidup, tetapi juga ramah bagi semua yang menjadi bagian dari Weda, baik yang lahir di tanah itu maupun yang datang kemudian. Kita tidak bisa menutup pintu bagi perubahan, tetapi juga tidak boleh membiarkan arus perubahan mengikis identitas.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar