Huru-hara Cokaiba dan Jalan Fagogoru

Muhammad Kamarullah

Maka, perlu ada jembatan pemahaman. Bagi penulis, salah satu solusinya adalah membangun forum interaksi antara masyarakat asli dan pendatang, di mana Cokaiba bisa dijelaskan dari sisi sejarah, filosofi, dan tata cara pelaksanaannya.

Forum semacam ini bisa dilaksanakan menjelang perayaan Maulid, melibatkan tokoh adat, tokoh agama, pemerintah daerah, dan perwakilan pendatang. Tujuannya bukan untuk “mendikte” budaya, tetapi untuk memperkaya pemahaman sehingga semua pihak dapat saling menghormati.

Selain itu, ada baiknya aspek pelaksanaan Cokaiba terus dievaluasi agar tidak menimbulkan kesan kekerasan. Misalnya, pemukulan simbolis dapat dilakukan lebih lembut atau dengan atribut yang jelas tidak membahayakan.

Dengan begitu, nilai teguran tetap terjaga, namun persepsi negatif dapat diminimalisir. Di sini kita belajar satu hal penting: tradisi tidak selalu harus kaku; ia bisa beradaptasi tanpa kehilangan roh aslinya.

Bahkan sejarah kebudayaan menunjukkan, banyak adat yang mampu bertahan justru karena mampu menyesuaikan diri dengan konteks zaman.

Adaptasi ini bukan berarti mengurangi nilai, tetapi memastikan pesan yang terkandung di dalamnya tetap relevan dan dapat diterima oleh semua pihak yang hidup bersama di ruang yang sama.

Persoalan yang muncul di media sosial juga mengajarkan bahwa ruang digital adalah medan komunikasi yang rawan salah tafsir.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...