Agustus Berdarah

Inilah paradoks politik Indonesia hari ini: rakyat marah karena tertindas, tetapi kemarahannya berulang kali dimanfaatkan elit.
Spontanitas massa memiliki legitimasi moral, tetapi tanpa organisasi dan kepemimpinan yang tegas, ia hanya menjadi bahan bakar perebutan kekuasaan di tingkat atas. Rakyat bergerak, namun hasil akhirnya tetap dipetik penguasa.
Karena itu, pelajaran utama dari “Agustus Berdarah” adalah urgensi membangun kekuatan politik rakyat yang terorganisir. Tiga hal mendesak harus menjadi pijakan:
Pertama, demokrasi sejati melalui representasi kelas pekerja agar parlemen tak lagi dikuasai pengusaha dan oligarki.
Kedua, redistribusi kekayaan kepada rakyat pekerja dan kaum miskin agar hasil kerja kolektif tak terus dirampas segelintir elit.
Ketiga, jaminan sosial universal melalui pendidikan, kesehatan, perumahan, dan perlindungan kerja sebagai tanggung jawab negara.
Tanpa itu, setiap letupan amarah rakyat hanya akan berulang: korban berjatuhan, fasilitas hancur, sementara elit memperkokoh kuasa.
Dengan organisasi yang kuat, kemarahan bisa berubah menjadi energi perubahan. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi catatan sejarah yang pahit, seperti Agustus 2025, bulan di mana darah rakyat kembali tumpah di jalanan. (*)
Komentar