Agustus Berdarah

Ironisnya, mereka justru diganjar gaji fantastis: Rp230 juta per bulan atau setara Rp1,6 triliun per tahun untuk 580 anggota, semua dari pajak rakyat.
Sementara itu, angka pengangguran naik menjadi 7,28 juta orang, 59,4 persen pekerja terjebak di sektor informal, dan pemerintah lebih memilih memangkas anggaran sosial ketimbang menyehatkan ekonomi rakyat.
Kekecewaan rakyat yang diekspresikan lewat demonstrasi sering dibalas dengan kekerasan aparat. Amnesty International mencatat 116 kasus kekerasan polisi sepanjang 2024, sementara KontraS melaporkan 602 kasus dari Juli 2024 hingga Juni 2025.
Kenaikan anggaran Polri hingga Rp126 triliun dalam RAPBN 2025 hanya memperbesar aparatus represif yang kerap berhadapan dengan rakyat.
Namun aksi 28–29 Agustus juga menyingkap keterbatasan gerakan rakyat. Beragam tuntutan dari “Bubarkan DPR” hingga “Reformasi Polri”, menunjukkan ketidakpuasan yang meluas, tetapi tanpa arah politik yang menyatukan.
Ketiadaan organisasi rakyat yang kuat membuka ruang bagi elit politik dan institusi keamanan untuk menunggangi kemarahan massa sesuai kepentingan mereka.
Kerusuhan yang berlanjut sehari kemudian, termasuk perusakan gedung DPR, justru memberi alasan bagi pemerintah untuk memperkeras represi dan bahkan menimbang opsi darurat sipil.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar