CERPEN: Puncak Keikhlasan Cinta di Atas Gamalama

PADA dasarnya cinta tak selalu memberikankebahagiaan, ada juga yang memberikan bubuk-bubuk kesakitan didalam diri kita. Didunia yang fanaini, kita tidak luput dari yang namanya cinta. Namundisetiap kisah cinta seseorang yang indah bak senja, terdapat kisah yang sedih dan tentunya mengikis hati.
Tentunya, ketika cinta yang kita jalani sudahtidak ada jalan menuju kebahagiaan,maka jalan satusatunya adalah, berpisah dan mengikhlaskan. Sejatinya, tidak pernah ada ikhlas yang seikhlas – ikhlasnya dari diriku menghadapi perpisahan. Namun, harus memaksa diri untuk mampu, agar hatiku tetap tulus. Semuanya salah ku, egoku lahyang merasuki jiwa kecil ini. Aku mengikhlaskandirinya di atas ketinggian, terdengar aneh tetapiketika aku di atas ketinggian, aku merasa apabila kitamengiklaskan cinta, kita akan mendapatkankebahagian lain yang seluas lautan dan setinggi langitbiru.
Aku memutuskan mendaki Gamalama,gunungyang selalu menjadi impian Edelweis. Aku inginmelepas semua kesedihan dan kemarahan di ataspuncak sana. “Edelweis, di sini, di atas gunung ini, aku mencoba merelakanmu,” bisik Aku, denganbergetar penuh emosi.
Edelweis adalah fajar dalam gulita Ku. Aku tekah merajut asa pernikahan, mendirikan singgasanarumah Impian, dan menyongsong bahtera masa depan Bersama.Namun, kala menyerobot Edelweisdengan kejam, mewariskan Aku palung hampa yang menganga pedih. “Aku marah, Edelweis. Aku marahpada Tuhan yang mengambilmu dari dariku,” gumamAku, air mataku menetes membahasi tanah.
Dengan nurani berbisik, Aku tiba di jalur awalpendakian gunung Gamalama.Perjalanan menujupuncak Gamalama tidaklah mudah. Aku harusberjuang melawan terjalnya medan, dinginnya udara, dan kelalahan yang mendera. Di kala kaki mengawaliperjalanan, di situlah hatiku mulai bertanya “ inikahcara ikhlas yang kau maksud?” . Aku mulai mendakitingginya Gamalama, namun mendaki yang merupakan pendakian pertama ku, terasa berbeda. Karena disetiap langkah, seperti cara untuk kembalimembuka halaman cinta kita berdua. Aku menariknapas dalam – dalam, merasakan angin menyapuwajahku. Aku memejamkan mata, mencobamengingat semua kenangan indah bersamamu. Dipertengahan pendakian, Aku merasakan energiseakan terkuras habis, sendi – sendiku berdenyutnyeri dan hampir aku berpikir untuk menyerah. Tetapi, Aku berpikir jika menyerah di pertengahanjalan, maka aku tidak akan bisa untukmengikhlaskannya. Aku terus mendaki denganmembawa sejuta kenangan bersamanya, Akumengharapkan dengan pendakian kali ini, betul – betul bisa mengikhlaskannya, walaupun denganberbagai rintangan yang ku lalui.
Dan setelah mendaki cukup lama dan memakanenergi yang cukup banyak, akhinya puncakGamalama yang selalu diimpikan Aku dan Edelweis, kini mulai terlihat dari kejauhaan. Aku hampir tiba di singgasana jiwa yang lapang dan penuh suka cita, biarpun gelombang pasang menerjang tanpa jeda dan sekalipun bara api membakar langkahku, Aku akantetap melanjutkan perjalanan ini.
Akhirnya, Aku berhasil mencapai puncakGamalama. Aku berdiri disana, menghirup udarasegar, dan memandang panorama yang menakjubkan.” Indah sekali, ya, Edelweis. Pastikamu suka tempat ini,” kata Aku, senyum tipis terukir di bibir ini.
Aku meraih sebuah kotak usang dari relungranselku. Di dalamnya, tersemayam potret Edelweisdalam berbagai untaian kenangan, lembaran suratcinta yang menguning dimakan waktu, dan sebentukcincin pertunangan yang kini kehilangan sinarnya. Dengan jari gemetar, Aku membuka kotak itu, mengeluarkan cincin yang dulu menjadi simbol janjisuci kita. Aku menatap cincin itu, tatapanku diliputisendu yang menguar dari palung hatinya. “MaafkanAku, Edelweis. Aku gagal jadi perisaimu. Aku khianati janji – janji yang pernah kuikrarkan,” bisikAku, suaraku parau di telan angin, sementara air matakembali membasahi pipiku.
Aku memejamkan mata, berusaha merangkaikembali fragmen bahagia bersama Edelweis. Aku mendengar tawa Edelweis di benakku, merasakansentuhan lembut Edelweis yang menghangatkanjiwaku, dan melihat senyum Edelweis yang selalumenjadi pelita dalam hidupku.
Dengan berat hati, Aku membuka mata, lalumelemparkan cincin itu ke kedalam jurang. Cincin itumeluncur dengan cepat, senyap ditelan kehampaan. “Selamat jalan, Edelweis. Aku merelakanmu terbang menuju kebahagiaan,” ucap Aku, air mataku kinimengalir deras seperti air hujan.
Aku berdiri tegak di sana, menatap horizon yang membentang luas. Aku tahu, hidupku taakan pernahsama tanpa Edelweis. Namun, Aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus melangkah maju, meneruskan hidupki, dengan kenangan Edelweissebagai obor yang menerangi jalanku.
Di atas puncak Gamalama, di Tengah deru angindan kabut yang pekat, Aku menemukan kedamaian. Aku telah mengikhlaskan Edelweis, dengan sengenaphati dan jiwa. Dan kemudian mentari mulaimemancarkan sinarnya dan menghapus kabut yang pekat, dan memancarkan kehangatan yang menembushingga sumsum tulang ku. Aku menarik napas dalam- dalam, merasakan ketenangan mulai merayapihatiku.
Aku mulai tersenyum, sebuah senyum yang tulus,yang lahir dari keikhlasan yang mendalam. Aku tahu, Aku telah berhasil merelakan Edelweis. Aku telah melepaskan semua belenggu kesedihan dan kemarahan. Aku siap untuk menyambut lembaranbaru dalam hidupku. Dengan langkah yang mantap, Aku berbalik dan mulai menuruni gunung. Aku menuju masa depan yang lebih cerah, masa depanyang akan Aku ukir dengan semangat baru dan cintayang abadi untuk Edelweis.
Dari puncak Gamalama, Aku membawa pulangbukan hanya kenangan, namun juga kekuatan. Aku telah menaklukan egoku, merelakan cintaku, dan kinisiap menapaki jalan baru dengan hati yang lapangdan jiwa yang bebas.
“Ikhlas itu perjalanan panjang, mendaki gunung ego dan menyebrangi keangkuhan, hingga tiba di puncakpenyerahan diri.” - Lao Tzu.
Ikhlas adalah senjata pamungkas, yang mampumenaklukan badai nestapa dan membukagerbang kedamaian.” – Mahatma Gandhi.
“Ikhlas itu bagai Samudra tak bertepi, dimana setiaptetes air mata menjadi Mutiara kebijaksaan.” – Jalaludin Rumi.(*)
Komentar