Pembangkangan Konstitusi oleh DPR dan Aparat Kepolisian

Segala institusi negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR) dan aparat kepolisian, wajib tunduk pada prinsip-prinsip konstitusi, terutama dalam menjamin hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan supremasi hukum.
Namun, apa yang terjadi ketika kekuasaan justru menjadi pihak yang membangkang konstitusi? Ketika kekuasaan tidak lagi merasa terikat pada aturan main yang telah disepakati bersama, maka konstitusi hanya menjadi simbol kosong – tidak lagi memiliki daya paksa, hanya menjadi hiasan retoris dalam pidato-pidato kenegaraan.
Dalam praktiknya , dua lembaga yang seharusnya menjadi penopang demokrasi dan hukum yakni; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia justru kerap menunjukkan sikap yang bertentangan dengan amanat Rakyat dan konstitusi.
Ketika lembaga legislatif dan aparat penegak hukum melakukan penyimpangan, maka yang terjadi bukan hanya pelanggaran prosedural hukum semata (due process of law), melainkan pembangkangan konstitusi (constitutional disobedience) itu sendiri.
Secara teoritis, pembangkangan konstitusi dapat diartikan sebagai suatu tindakan, keputusan, atau kebijakan oleh lembaga negara yang menyimpang dari nilai, prinsip, dan norma dasar yang termuat dalam konstitusi. Dalam kajian filsafat hukum dan politik, pembangkangan ini sering dikaitkan dengan dua hal:
1. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
2. Pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara
Menurut John Rawls dalam A Theory of Justice, pembangkangan terhadap norma dasar yang disepakati bersama (seperti konstitusi) dapat mengancam keadilan institusional dan merusak kepercayaan publik terhadap negara.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar