SEBUAH SOLUSI: Dari Demokrasi Prosedur Menuju Demokrasi Substansi

BERANGKAT dari "rasa kesal" melihat keadaan negara kita yang tidak sedang baik-baik saja, ditengah pemberitaan yang nyaris setiap hari kita melihat dan membaca, dimana-mana terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa: mulai dari pagar laut, tambang raja ampat, pemblokiran rekening, kenaikan pajak hingga berita mengenai gaji/tunjangan DPR RI yang akhirnya memicu aksi demonstrasi besar-besaran hampir di seluruh daerah ditanah air.
Sebagai rakyat kita seakan dibuat hanya menjadi "penonton" untuk menyaksikan "permainan" para pejabat. Kita merasa seolah tak punya kuasa untuk merubah keadaan yang buruk ini. Beruntung masih ada mereka-mereka yang terus berisik, baik melalui dunia maya maupun di kehidupan nyata sebagaimana yang bisa kita saksikan hari-hari ini, dimana hampir semua daerah di Indonesia turun kejalan untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai bentuk upaya dalam merubah dan memperbaiki keadaan yang dirasa tidak pro rakyat ini.
Kita patut berterimakasih kepada mereka-mereka yang masih punya rasa kepedulian untuk terus bersuara atas kondisi ini, karena tanpa mereka mungkin kita sebagai rakyat di hadapan negara akan bernilai tak lebih dari seorang "budak" yang hanya bisa menerima apapun yang diperintahkan sang tuan (pejabat).
Karena rasa kesal melihat pemberitaan tentang keadaan negara yang sedang tidak baik-baik saja, tiba-tiba muncul pertanyaan di benak pikiran, apakah ada CARA MUDAH DAN AMPUH agar setiap orang punya kesempatan untuk mengubah keadaan yang dirasa tidak berpihak kepada rakyat ini? tanpa harus ia punya gelar akademik, pun tidak perlu disebut aktivis, juga tidak harus menjadi pengamat atau ahli.
Setelah memikirkan dengan serius pertanyaan ini, akhirnya muncul jawaban tentang cara paling mudah dan ampuh: MEDIA SOSIAL dan KEWENANGAN RAKYAT MELAKUKAN PEMBERHENTIAN.
Saat ini, semua instansi perkantoran pemerintah sudah menyediakan pelayanan berbasis teknologi. Misalnya, pengurusan perizinan, tilang elektronik hingga pembayaran pajak secara online. Pemanfaatan teknologi ini dilakukan dengan tujuan agar memberikan kemudahan pelayanan yang cepat dan sekaligus untuk meminimalisir terjadinya praktik suap-menyuap.
Namun sampai saat ini kita belum memikirkan untuk membuat sebuah terobosan baru dalam memanfaatkan teknologi dalam bidang pengawasan terhadap kerja-kerja DPR.
Bayangkan, setiap orang bisa melihat langsung dari layar ponselnya saat wakil-wakilnya yang duduk di DPR melaksanakan fungsi dan tugasnya: kita bisa mendengar apa yang mereka bahas dan perdebatkan dengan pemerintah, kita pun bisa tau apa saja hambatan mengapa suatu produk legislasi memakan waktu lama, dan yang paling terpenting adalah kita menjadi tau apakah wakil-wakil kita ini benar-benar bekerja mewakili kepentingan rakyat ataukah hanya sekedar mewakili kepentingan diri sendiri dan partainya.
Penulis membayangkan, andaikan kedepan bisa dibuat sebuah undang-undang yang mengatur tentang KEHARUSAN penggunaan media sosial ( TikTok, Facebook, Instagram maupun YouTube) untuk meliput secara live rapat-rapat kerja yang dilakukan para wakil kita ini, dimana semua kantor DPR di Indonesia baik kantor DPR RI di pusat maupun DPRD di daerah, masing-masing harus wajib memiliki akun media sosial resmi untuk menyiarkan secara langsung setiap rapat kerja yang dilakukannya.
Media sosial ini nantinya akan difungsikan sekurang-kurangnya untuk dua hal: menyediakan informasi tentang jadwal rapat kerja dan menayangkan siaran langsung saat melakukan rapat. Sehingga masyarakat bisa tau kapan akan dilakukan rapat dan menunggu untuk ikut menonton jalannya rapat kerja bersama pemerintah tersebut. Penulis mengibaratkan seperti antusias masyarakat dalam menonton piala dunia.
Apabila penggunaan media sosial oleh DPR ini bisa terwujud, maka kita bukan saja berhasil beradaptasi dengan kemajuan teknologi tetapi juga sedang melangkah maju dalam mewujudkan demokrasi subtansial dimana rakyat sebagai pemilik daulat bisa melihat dan mengawasi langsung kerja yang dilakukan oleh wakilnya. Ibarat seperti bos di perusahaan yang bisa memantau karyawannya dan melakukan pemecatan jika terbukti bersalah.
Menurut hemat penulis, praktek demokrasi selama ini hanya bersifat seremonial belaka dimana partisipasi penuh rakyat dalam ruang demokrasi hanya dilakukan sebatas lima tahun sekali yaitu ketika memilih dibalik kotak suara. Setelahnya, kita sebagai rakyat samasekali tidak tau apapun tentang jalannya roda pemerintahan kecuali hanya mengetahuinya dari pemberitaan media masa.
Dalam catatan penulis, setidaknya ada dua penyebab sehingga masyarakat membicarakan masalah pemerintahan -politik:
1. ketika masuk tahun politik, yang secara normatif disebut sebagai pemilihan umum. Pada momen ini, semua orang tanpa terkecuali membicarakan politik, mulai dari membicarakan diri personal para calon kontestan yang akan dipilih sampai dengan menilai visi-misinya;
2. Sedangkan kedua adalah saat muncul isu-isu sosial-politik yang menarik perhatian masyarakat. Misalnya, isu kenaikan harga BBM, kenaikan pajak, kenaikan harga sembako dan sebagainya. Disini, respon masyarakat sifatnya lebih kearah "mengutuk" karena menganggap pemerintah terutama wakil-wakilnya di DPR gagal memberikan yang terbaik untuk rakyatnya.
Namun dengan adanya penggunaan media sosial ini, masyarakat akan jauh lebih pro aktif dalam mengawasi dan mengkritisi jalannya roda pemerintahan tanpa perlu menunggu tahun politik atau muncul sebuah pemberitaan tentang kebijakan yang dinilai tidak berpihak ke rakyat. Karena masyarakat sehari-hari akan menjadi lebih terbiasa mengikuti secara langsung jalannya roda pemerintahan melalui siaran langsung di media sosial.
Kawan-kawan ojol misalnya, mereka bisa duduk santai menonton jalannya rapat dari handphonenya sambil menunggu orderan, juga para buruh pelabuhan bisa turut menyaksikan, bahkan Ibu rumah tangga yang sedang memasak di dapur pun bisa ikut kepo melihat jalannya rapat kerja DPR bersama pemerintah.
Ketika cara penayangan live di media sosial ini dilakukan, maka penyebutan istilah politik bukan lagi hanya dipahami sebagai ajang lima tahunan dengan segala macam citra buruknya: serangan fajar atau amplop, dunia tipu-tipu dan semacamnya. Tetapi, bahasa politik akan menjadi bahasa pergaulan sehari - hari dimasyarakat. Dengan kata lain, pembicaraan tentang politik tidak lagi hanya milik "orang orang intelektual" seperti mahasiwa, dosen, praktisi, pengamat atau para ahli. Tetapi, bisa menjadi konsumsi publik sepenuhnya.
Tentu saja penggunaan media sosial sebagai sebuah sistem sarana baru dalam upaya mengontrol dan mengawasi kerja-kerja wakil kita di DPR untuk mewujudkannya tidak akan semudah yang dibayangkan, karena sistem pengawasan dengan cara baru ini berpotensi memiliki kelemahan dan resiko tersendiri. Mulai dari perangkat elektronik pendukung yang harus memadai, keaman cyber yang harus dipikirkan hingga nilai konstitusionalnya ketika hendak di buat kedalam sebuah peraturan perundang-undangan. Namun bukankah mencoba memikirkannya secara serius akan jauh lebih baik daripada tidak samasekali?
Disamping cara pengawasan melalui media sosial sebagaimana yang telah disebutkan diatas, yang tak kalah penting perlu dilakukan jika kita benar-benar ingin pengelolaan negara ini berjalan sesuai amanat UUD 1945 dan Pancasila khususnya sila kelima yaitu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mutlak harus diberikan kewenangan kepada rakyat untuk memberhentikan wakil-wakilnya di DPR melalui sebuah proses yudikatif (semacam sidang etik), dimana rakyat diberikan ruang dan kewenangan untuk menguji dan membuktikan wakilnya yang ia anggap tidak kompeten atau tidak layak untuk mewakilinya memang perlu untuk dilakukan pemecatan.
Cara kedua ini, sependek pengetahuan penulis baru akan bisa dilakukan apabila UU MD3 atau UU partai politik diubah. Sebab saat ini kewenangan untuk memberhentikan DPR hanya bisa dilakukan melalui partai yang biasa kita kenal dengan istilah PAW (pemberhentian antar waktu).
Terkait bagaimana cara pengisian jabatan dari pergantian setelah kita pecat wakil-wakil kita ini, saya kira ini bukan hal yang sulit untuk dilakukan mengingat kita punya begitu banyak para ahli hukum tatanegara untuk mendiskusikan cara penyelesaiannya. Intinya, sediakan UU yang memberikan kewenangan kepada rakyat untuk memberhentikan wakil-wakilnya !
Menurut penulis, hanya dengan kedua cara ini (mengawasi langsung lewat media sosial dan berwenang memberhentikan) barulah kita sebagai rakyat bisa disebut sebagai pemilik daulat yang sesungguhnya.
Alhasil, apabila kedua cara ini benar-benar bisa kita wujudkan maka praktik demokrasi yang selama ini hanya bersifat seremonial belaka dan terkesan terlalu prosedural bisa kita rubah menjadi demokrasi subtansial yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. (*)
Komentar