Pilar Demokrasi Hancur di Bawah Kaki Aparat

Ardi Turege

Kepolisian berubah menjadi mesin kekuasaan, bukan alat hukum. Kritik diperlakukan sebagai ancaman, dan hukum dijadikan senjata untuk membungkam rakyat, bukan melindunginya.

Pertanyaannya: untuk siapa polisi bekerja? Untuk rakyat yang menggaji mereka lewat pajak, atau untuk elite kekuasaan yang tak mau diganggu?

Selama kepolisian lebih sibuk melayani kepentingan penguasa daripada melindungi rakyat, maka demokrasi hanya menjadi sandiwara murahan panggung politik.

Padahal, konstitusi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Namun realitas di jalan-jalan, ruang publik, dan ruang digital menunjukkan sebaliknya: suara rakyat ditukar dengan gas air mata, pentungan, dan ancaman penjara.

Demokrasi yang seharusnya menjamin kebebasan kini menjelma menjadi ilusi, topeng usang yang menutupi wajah otoritarianisme baru.

Demokrasi tidak bisa tumbuh dalam atmosfer ketakutan. Ia akan benar-benar mati ketika rakyat berhenti percaya pada arti suaranya. Karena itu, sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kekerasan yang dibalut seragam.

Pilar demokrasi hanya bisa kembali tegak bila aparat berani bercermin, membersihkan diri dari budaya represif, dan kembali ke peran dasarnya: melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat.

Salus populi suprema lex esto—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Selama prinsip ini dikhianati, demokrasi akan terus patah berkeping-keping di bawah kaki busuk kekuasaan yang berseragam. (*)

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...