Pilar Demokrasi Hancur di Bawah Kaki Aparat

Oleh: Ardi Turege
(Wakil Ketua BEM FH UMMU)
Demokrasi dibangun di atas empat pilar utama: kebebasan berpendapat, supremasi hukum, pemilu yang adil, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Namun, di negeri ini pilar-pilar itu justru hancur bukan oleh musuh dari luar, melainkan oleh tangan kekuasaan sendiri. Lebih ironis lagi, yang merobohkannya adalah aparat yang seharusnya menjadi pengayom rakyat: kepolisian.
Dalam banyak peristiwa, kepolisian tampil bukan sebagai pelindung konstitusi, melainkan aktor utama represi. Demonstrasi damai dibubarkan dengan gas air mata. Aktivis dikriminalisasi. Wartawan diintimidasi. Warga biasa diseret hanya karena bersuara.
Kritik dianggap ancaman, suara rakyat diputarbalikkan menjadi “gangguan negara”. Semua ini menegaskan bahwa demokrasi kita tidak tumbang karena rapuh, melainkan dihancurkan secara sistematis oleh budaya kekerasan yang dilegalkan.
Lebih menyakitkan lagi, praktik penyalahgunaan wewenang itu selalu berlindung di balik dalih “keamanan”. Seolah-olah suara rakyat adalah ancaman, bukan harapan. Seolah-olah kritik adalah dosa, bukan dinamika sehat demokrasi.
Di titik inilah hukum kehilangan makna: bukan lagi berpihak pada kebenaran, melainkan pada seragam.
Akibatnya, keberanian rakyat digantikan rasa takut. Harapan berganti apatisme. Demokrasi perlahan sekarat, disayat oleh mereka yang seharusnya menjaganya.
Ketika pelaku kekerasan justru diberi promosi jabatan, sementara korban kehilangan suara, itu berarti kita sedang membiarkan penghianatan terhadap konstitusi berlangsung secara terang-terangan.
Kerap kali kekerasan aparat dibingkai sebagai ulah “oknum”. Namun, jika pola itu terus berulang, jika impunitas terus dijaga, maka yang busuk bukan lagi oknumnya - melainkan sistemnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar