Bully: Racun Sunyi yang Membunuh Karakter

Bellarosita Faisal

Oleh: Bellarosita Faisal
(Guru BK SMKN 2 Kota Ternate)

Bully bukan sekadar serangan fisik atau ejekan di hadapan banyak orang. Ia bisa hadir dalam bentuk yang lebih senyap kata-kata yang merendahkan, tatapan yang mengintimidasi, atau pengucilan yang sengaja dilakukan.

Racun ini bekerja perlahan, nyaris tanpa suara, tetapi mampu menggerogoti kepercayaan diri, harga diri, bahkan masa depan seorang anak.

Baca Juga: Menjahit Luka Moral di Tanah Rempah: Peran BK dalam Isu Kekerasan Seksual

Dalam perspektif Bimbingan dan Konseling (BK), bully bukan hanya pelanggaran tata tertib sekolah, melainkan masalah serius yang mengikis karakter.

Karakter yang rusak pada masa sekolah sering kali berlanjut menjadi luka psikologis di masa dewasa. Ironisnya, banyak korban yang memilih diam karena takut stigma, atau karena pihak sekolah dan lingkungan belum sepenuhnya responsif.

Kasus di Maluku Utara beberapa waktu lalu menjadi cermin kelam. Seorang guru di salah satu SMK di Kota Ternate menjadi korban perundungan dan pencemaran nama baik oleh siswanya sendiri.

Perilaku ini bukan hanya melanggar norma, tetapi juga menunjukkan bagaimana racun bully dapat menembus batas hierarki, merusak hubungan guru–murid, dan mencoreng wajah pendidikan.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi, Rabu 20 Agustus 2025

Saat kasus ini mencuat, publik terbelah antara yang menganggapnya “sekadar kenakalan” dan yang benar-benar memahami bahwa ini adalah tindak kekerasan psikologis yang harus ditindak tegas.

Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kasus perundungan di sekolah terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...