(Menguak Realitas Pahit di Balik Kemerdekaan 80 Tahun)
Merdeka dalam Ilusi

Indonesia semakin dekat ke suasana konflik, mengalami ketegangan bukan saja persoalan “hukum” atau “Pajak Bumi dan Bangunan” di lapisan sosial masyarakat, tapi juga Maluku Utara dengan persoalan ekologisnya.
Tentu saja ini berbeda antara yang prioritas dan bukan prioritas, pelayanan seakan yang prioritas diatar dengan bus khusus, sementara kami (bukan prioritas) tak punya hak itu.
Baca Juga: Hak Masyarakat Adat dan Kebijaksanaan Politik
Mungkin sebab itulah ketegangan jadi laten. Dengan kata lain, kedaulatan menampakkan diri dengan sebuah keputusan untuk mengecualikan diri dari hidup bersama yang dibentuk hukum dan bahasa persatuan.
Ketika hidup ditinggalkan hukum dan percakapan, orang pun bisa dengan semena-mena digolongkan ke dalam oknum yang tak diakui.
Seakan-akan Maluku Utara (rakyatnya, tanahnya, lautnya) sedang mengukuhkan dirinya untuk negara di hari-hari seperti ini; kekuasaan tampil berdaulat dalam bahasa persatuan.
Lalu kita dibiarkan bugil dan dijadikan “korban”, tanpa bisa digugat. Namun, kita bukan “korban” sebagai putra Ibrahim yang disucikan, tapi semata-mata sebagai tumbal menegakkan kepala para elit kekuasaan, kita (Maluku Utara) seperti kerbau yang kepalanya ditanam sebelum sebuah gedung dibangun.
Tapi kekuasaan yang tak hendak berada dalam hukum dan bahasa “persatuan, keadaulatan” makin tanpak sebagai kekuasaan yang tegang dan penuh kecurigaan. Indonesia, akhir-akhir ini, adalah sebuah republik yang tak menentu.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar