Menata Ulang Paradigma di Era AI

Namun di balik kecanggihan itu, ada paradoks: ketika mesin dapat mengambil alih fungsi berpikir, apa yang tersisa bagi manusia selain menjadi operator atau penonton proses yang telah diprogram?
Paradigma generasi harus bergeser dari sekadar “mencari pekerjaan” menjadi “menciptakan makna”. Pada era pra-AI, manusia dihargai karena kemampuan fisik dan kognitifnya.
Baca Juga: AI dan Krisis Ekologi: Solusi atau Ancaman Baru?
Kini, nilai manusia akan terletak pada kapasitasnya untuk menghadirkan perspektif, etika, dan kebijaksanaan hal-hal yang belum dapat direplikasi oleh algoritma secara otentik.
Kompetensi teknis memang penting, tetapi tanpa landasan nilai, kita hanya akan menjadi perpanjangan tangan dari logika mesin.
Secara filosofis, era AI memaksa kita meninjau ulang relasi antara manusia dan teknologi. AI bukan sekadar alat, tetapi cermin yang memantulkan bias, niat, dan visi penciptanya.
Baca Juga: Sampah sebagai Ancaman: Perspektif Health Belief Model
Jika AI digunakan untuk memaksimalkan keuntungan tanpa memedulikan keadilan, maka ketimpangan sosial akan melebar.
Jika AI diarahkan untuk memperluas akses pendidikan, kesehatan, dan partisipasi publik, maka ia menjadi instrumen kemajuan kolektif. Di sinilah peran generasi kini menentukan arah moral dari teknologi yang mereka warisi dan kembangkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar