MBG: Visi yang Manis tapi Pahit

Apa yang berhasil di satu tempat tidak bisa sekadar dipindahkan begitu saja ke tanah lain, apalagi Bila tanah itu masih diselimuti kekacauan birokrasi, korupsi, budaya yang kompleks, dan relasi kuasa yang sarat kepentingan.
Misal kita berkaca kembali pada 16 Januari 2025, secarik kabar dari SDN Dukuh 03, Sukoharjo, Jawa Tengah membuat gaduh: 40 siswa keracunan makanan MBG. tak lama, MTs Negeri 1 Kota Ternate, Maluku Utara, (30/7/2025), mengalami hal serupa. makanan yang disajikan ditemukan mengandung ulat dan tak layak dikonsumsi.
Presiden pun angkat suara, meminta maaf dan berjanji mengevaluasi sistem distribusi (Kompas, 21-01-2025) namun bagi publik, janji adalah komoditas yang sudah terlalu sering dijajakan tanpa pengiriman nyata.
Evaluasi lembaga Kajian Gizi dan Pendidikan Indonesia mencatat bahwa hanya 38% siswa yang benar-benar mengonsumsi makanan MBG.
Sisanya lebih memilih membawa bekal dari rumah karena menu yang diberikan tidak sesuai selera, dingin, atau bahkan basi. di wilayah dengan identitas pangan yang kuat seperti Maluku Utara, Papua, atau Aceh, makanan dari skema nasional MBG seringkali dianggap asing, bahkan merendahkan selera lokal.
Gizi bukan hanya nutrisi, tapi juga soal rasa dan martabat. tak berhenti di situ. Audit Badan Pemeriksa Keuangan menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp1,2 triliun dalam pengadaan program ini.
Mulai dari mark-up harga, pengadaan fiktif, hingga vendor tak kompeten. di Sulawesi Tengah, perusahaan penyedia makanan ternyata adalah distributor alat tulis. Jika bukan ironis, maka inilah bukti betapa rawannya kebijakan publik ketika dijalankan dengan nafsu, tapi tanpa sistem pengawasan yang kokoh.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar