Tete Ali dan Komunikasi Empatik di Media Sosial

Makbul A.H Din

Alangkah eloknya, jika teta Ali disaat emosi tidak menggunakan kata-kata, maaf, “kim mai” yang tentu bermakna negative, termasuk makian pada rekan-rekan teta Ali yang selalu menyulut emosinya dengan menyebut “alat kelamin mereka’.

Jika demikian, maka tete Ali dan rekan-rekannya mempraktekkan “komunikasi yang kurang empatik”, sementara kita berempati pada hal-hal yang tidak seharusnya Memang diakui, bahwa komunikasi empatik dalam Masyarakat kontemporer dewasa ini hampir menemui ajalnya.

Ketika kita semua mengkomunikasikan persoalan personal, kelompok, dan organisasi, sering terjadi salah persepsi, hal ini bisa terlihat antara dosen dengan mahasiswa, dalam konteks akademiknya, dan lainnya.

Baudrillard menyebutkan “kita berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tetapi begitu hampa makna”. Jadi komunikasi empati, berarti kita semua memiliki kesadaran memahami dengan perasaan, peduli dan perhatian terhadap komunikasi tete Ali, dan kita wajib memperbaiki komunikasi dan empati kita.

Disebutkan terakhir mengindikasikan bahwa berempati itu penting guna terbangun understanding (kesepahaman) dalam memaknai komunikasi. Namun kita juga memiliki patokan nilai dan norma yang menjadi contoh dalam menginternalisasikan kepada generasi kita sebagai pelanjut estafet ke depan.

Protes pada ketidak-benaran dan ketidak-becusan, dengan melegitimasi dan menganggap absah prilaku emosional, disertai makian juga tidak dibenarkan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...