Tete Ali dan Komunikasi Empatik di Media Sosial

Ini berarti, saat berinteraksi di media sosial, kita harus berkomunikasi seolah-olah kita berbicara secara langsung, dengan mempertimbangkan perasaan dan pandangan orang lain. Esensi dari komunikasi empatik dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab adalah pesan universal.
Oleh karena itu, sudah saatnya kita menyadari bahwa literasi digital tidak hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga literasi emosional dan sosial.
Mengembangkan komunikasi empatik di media sosial adalah langkah penting untukmengubah platform digital menjadi ruang yang lebih manusiawi, di mana komunikasi dapat berjalan tanpa prasangka dan hubungan dapat dibangun dengan rasa saling menghargai.
Apakah fenomena Teta Ali menjadi problem komunikasi kita? Tentu kita harus melihat secara terbuka. Bagi komunitas pendidik (guru), ulama, para Kiyai, bahkan sebagian dosen, hal ini menunjukan kemampuan kita semua masih kurang dalam melakukan "bimbingan secara empatik”,
Kita seakan melegitimasi komunikasi makian, kasar dan penuh emosional, padahal disisi lain hal ini akan merusak moralitas anak-anak sekolah sebagai generasi penerus yang menyaksikan hal ini lewat medsos.
Ketidaksetujuan terhadap para elit, para politisi, atau yang lainnya tentu tidak dengan jalan membenarkan kata-kata “makian, kasar dan penuh emosional”, tanpa ini saja anak sekolah (SD, SMP dan SMA) sudah sering berkata kasar kepada guru dan orang tua mereka.
Saatnya kita menyadari bahwa literasi digital tidak hanya tentang kemampuan teknis, tetapi juga literasi emosional, etika, moralitas dan sosial.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar