Lemahnya Kelembagaan Tani Ditengah Semangat Hilirisasi Kelapa

Novet Charles Akollo

Oleh: Novet Charles Akollo
(Pemuda Desa Kumo, Mantan Pimpinan Presidium Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Maluku Utara (IKPM Malut) Yogyakarta periode 2016-2018)

Kelapa merupakan satu dari sekian banyak komoditas unggulan yang berperan strategis terhadap penerimaan devisa negara.

Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara produsen dan eksportir kelapa terbesar di dunia, bersaing dengan Filipina dan India. Industri ini diperkirakan melibatkan lebih dari 5,6 juta rumah tangga petani.

Baca Juga: Harapan Masyarakat Pesisir atas RPJMD Maluku Utara 2025-2029

Perkebunan kelapa diusahakan oleh masyarakat, perusahan besar swasta dan perusahan besar negara tersebar di berbagai daerah. Provinsi Riau berada pada urutan pertama dengan tutupan lahan atau penghasil kelapa terbanyak.

Kemudian disusul Sulawesi Utara, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Jawa Tengah, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara, dan Jawa Barat. Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mengembangkan industri kelapa sangat kompleks dan politis.

Selain itu, pertarungan antar komoditas unggulan dengan melibatkan berbagai aktor (entitas bisnis, personal, institusi pemerintah) yang berkepentingan seringkali juga menyebabkan pembuatan aturan dan alokasi anggaran tidak proporsional.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi, 2 Agustus 2025

Dalam 1 (satu) dekade belakangan, pemerintah justru lebih fokus memperkuat sektor kelapa sawit dibandingkan kelapa. Hal itu terlihat dari beragam regulasi yang dikeluarkan seperti Inpres, Perpres, dan peraturan terkait lain lebih mengarah kepada akselerasi industri kelapa sawit dari hulu hingga hilir.

Implikasi dari beragam aturan tersebut diantaranya membuka kran alokasi anggaran, serta program pemberdayaan dan peningkatan produktivitas kebanyakan tertuju ke petani kelapa sawit dan perusahan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...