Catatan
Festival Nyao Fufu

Masyarakat tidak selalu melawan dengan demonstrasi atau protes terbuka, tetapi melalui praktik budaya yang mengafirmasi jati diri dan menolak hegemoni budaya dominan.
Demikian pula, Festival Nyao Fufu dapat dimaknai sebagai “panggung kultural” tempat masyarakat menyuarakan kedaulatan atas pangan, laut, dan budaya mereka. Ia mempertemukan memori kolektif, praktik kuliner, dan relasi sosial dalam satu peristiwa yang menyentuh aspek ekologis, ekonomi, dan spiritual masyarakat.
Baca Juga: Wajah Ganda Elit, Dubius, dan Rekam Jejak
Festival Nyao Fufu lebih dari sekadar pesta rakyat bagi warga Maluku Utara, khususnya Kota Ternate. Festival Nyao Fufu merupakan representasi dari perjuangan mempertahankan hak atas pangan, identitas budaya, dan ruang hidup yang semakin terdesak oleh arus globalisasi.
Melalui festival ini, masyarakat pesisir Dufa-Dufa mengirim pesan, menyampaikan, bahwa ketahanan pangan tidak bisa hanya dihitung dari angka produksi, tetapi juga dari kemampuan masyarakat menjaga relasi ekologis, kultural, dan sosial yang menopang keberlanjutan hidup mereka.
Karena itu, penting bagi negara, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membaca festival semacam ini bukan hanya sebagai agenda pariwisata, melainkan sebagai bagian dari gerakan kebudayaan yang menuntut kedaulatan atas laut dan pangan lokal.
Dalam nyala bara nyao fufu (ikan bakar), tersimpan bara semangat untuk tidak tunduk pada arus yang menggerus akar kehidupan. (*)



Komentar