Apakah Tom Lembong akan Memilih Jalan Socrates?

Oleh:Sahrul Bukalang (Praktisi Hukum muda)

SEKITAR 2000 tahun lalu, di sebuah kota Yunani, di Athena, peristiwa yang sangat bersejarah terjadi terhadap seorang yang memilih dihukum mati demi mempertahankan sebuah idealisme, ia adalah Socrates.

Kala itu, di tanah Athena yang bergolak ide, Socrates berdiri di hadapan pengadilan. Ia tahu, satu kata “menyesal” bisa menyelamatkan nyawanya. Tapi ia memilih diam, lalu mati bukan karena cinta akan kematian, tapi karena keyakinan bahwa kebenaran tak perlu tunduk pada suara mayoritas.

Berabad-abad kemudian, di sebuah republik tropis yang merdeka tapi gamang, seorang ekonom bernama Tom Trikasih Lembong berdiri di sisi yang berseberangan. Bukan melawan negara, tapi melawan kelaziman. Ia memilih oposisi bukan karena benci kekuasaan tapi karena cinta pada akal sehat.

Socrates memilih dihukum mati demi mempertahankan idealismenya dalam menyebarkan pengetahuan, dan Tom Lembong memilih menjadi oposisi meski beresiko: alarm kriminalisasi sejak awal sudah sampai ditelinganya namun ia tetap melangkah dijalan yang penuh kerikil berduri itu. Hingga akhirnya, ia harus dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Tapi hari ini tiba-tiba muncul berita yang mengejutkan: Tom Lembong diberi abolisi oleh presiden. Abolisi ini datang diam-diam, seperti maaf yang malu-malu.

Serupa Socrates yang dicurigai hanya karena memantik pikiran, Tom pun diseret pada panggung penghakiman atas urusan gula yang entah manis entah pahit. Hakim berkata: ia bersalah, namun tak menikmati hasilnya. Vonis pun dijatuhkan seperti pisau tumpul yang dipaksakan ke dada.

Kita patut bertanya: mengapa abolisi dan amnesti perlu diberikan kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto?

Kita bisa menduga bahwa penggunaan hak prerogatif ini adalah demi mendongkrak popularitas presiden agar terlihat berpihak pada "keadilan" ditengah penegakan hukum yang kontroversial sebab pemberian abolisi ini tentu bukan tanpa perhitungan politik yang matang mengingat kasus impor gula terhadap Tom Lembong mendapat sorotan publik yang begitu luar biasa besar. Pada titik ini, kita dapat melihat bagaimana hukuman menjadi begitu luntur ketika berada ditangan penguasa.

Presiden mestinya menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi dengan melakukan penguatan terhadap KPK yang menurut para ahli hukum telah mengalami "pelemahan", bukan malah  ikut campur terhadap proses penegakan hukum terhadap Tom dan Hasto yang justru kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Sebab:

Presiden harusnya menjadi penjaga marwah hukum bukan pengatur hukuman.

Saya berpendapat bahwa kalau seseorang tidak bersalah maka seharusnya dia dibebaskan oleh hukum bukan "dimaafkan" oleh penguasa. Jika benar Tom Lembong merasa tidak bersalah maka membuktikannya lewat jalur hukum di pengadilan akan jauh lebih terhormat ketimbang diputus oleh pertimbangan politik. Walaupun tentu saja bayang-bayang jeruji besi menunggu, tapi bukankah ia sudah memikirkan hal ini sedari awal?

Negeri ini sudah begitu banyak persoalannya, masih ada hal lain yang jauh lebih urgen untuk diselesaikan ketimbang sekedar menandatangani sebuah dokumen atas nama hak prerogatif untuk mengampuni seseorang yang terbukti tidak punya perilaku koruptif seperti yang terjadi pada kasus pak Tom. Misal, UU perampasan aset masih terus bergema namun belum juga terlihat adanya keseriusan dari pemerintahan dan DPR untuk mengesahkannya.

Jika Socrates minum racun karena tak ingin hidup dalam kebohongan. Tom menerima vonis karena tak ingin menjual idealisme. Di antara keduanya, zaman boleh berubah, tapi harga dari keberanian berpikir kritis tetap mahal.

Jika kita terus menghukum kebenaran hanya karena salah jalur, dan membiarkan kepatuhan mengalahkan nurani, maka bangsa ini akan kehilangan bukan hanya pemikir seperti Socrates, tapi juga pelayan publik seperti pak Tom !

Socrates minum racun dengan kepala tegak. Tom Lembong meneguk sunyi dengan wajah yang tetap jernih. Di antara mereka, zaman berubah, tapi harga sebuah keberanian tetap sama: sepi, sakit, dan kadang dikubur dalam catatan kaki.

Akhirnya, kita semua berharap khususnya saya pribadi, bahwa pak Tom tetap teguh pada pendirian untuk mempertahankan idealismenya layaknya Socrates, dengan lantang menolak "hadiah politik" yang diberikan oleh presiden kepadanya. Karena sejarah selalu punya telinga untuk yang bertahan dalam kebenaran meski harus menunggu satu generasi untuk didengar.(*)

Komentar

Loading...