“Janji Pembangunan Menjadi Luka yang Terbuka”
Antara Tanah Adat dan DOB

Dan ketika pemekaran wilayah hanya melahirkan penguasaan baru atas ruang, maka otonomi berubah menjadi ironi. Dan janji pembangunan berubah menjadi sumber penderitaan baru.
Pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: Apakah pembangunan bisa disebut adil bila dimulai dengan mengingkari akar budaya? Apakah otonomi benar-benar berarti bila tak memberi ruang bagi keberagaman cara hidup dan nilai?
Adat/tradisi bukanlah suatu cara pandang yang menolak perubahan. Tapi, menginginkan perubahan yang menghargai martabat, menjaga ruang hidup dan melibatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek.
Baca Juga:Problematik Pembentukan DOB Sofifi
Tanah adat bukan milik pribadi, tapi warisan untuk generasi. Maka siapa pun yang merancang masa depan wilayah melalui DOB harus terlebih dulu belajar menghormati masa lalu dan kearifan lokal.
Kita butuh pembangunan yang mendengar. Kita butuh negara yang tidak buta pada luka-luka di akar rumput. Sebab jika tanah adat terus dikorbankan atas nama “Kemajuan”, maka yang hilang bukan hanya tanah, tapi juga jati diri negeri ini.
Negara harus belajar bahwa tanah bukanlah halaman kosong yang siap dibangun, melainkan halaman sejarah yang harus dihormati.
Jika tidak! Maka pembangunan hanya akan melahirkan ladang konflik yang membekas sebagai luka terbuka di peta Republik ini. Pembangunan sejati tak pernah bisa lahir dari ketidakadilan. Ia hanya tumbuh jika dimulai dari pengakuan atas siapa yang lebih dulu ada, dan siapa yang lebih lama menjaga. (*)
Komentar