“Janji Pembangunan Menjadi Luka yang Terbuka”
Antara Tanah Adat dan DOB

Mekanisme konsultasi seringkali bersifat formalistik, penuh manipulasi data dan tekanan politik. Di tengah itu semua, suara masyarakat adat tenggelam, dilibas oleh narasi-narasi resmi yang mengklaim “Kepentingan Umum”.
Pertanyaannya: siapa yang dimaksud sebagai “umum”? apakah “umum” berarti investor, birokrat baru, atau elit lokal yang haus kuasa?
Di banyak tempat seperti Papua, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku-Maluku Utara kita melihat pola yang sama: wilayah dipecah, tanah diukur, konsesi dibagi, dan yang tertinggal hanyalah cerita-cerita pilu yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara itu, masyarakat adat terus memperjuangkan haknya di jalan-jalan, di pengadilan, dan bahkan di pemakaman.
Baca Juga: Menakar DOB Sofifi dari Urgensi Sampai ke Aspek Bahasa
Mereka bukan hanya memperjuangkan tanah, tapi juga mempertahankan cara hidup. Menjaga hutan bukan karena mereka terlalu romantik, tapi karena mereka tahu: tanpa hutan mereka tak akan ada.
Dan jika tanah mulai hilang, bukan hanya ekonomi masyarakat yang terguncang, tetapi juga jati diri mereka. Upacara adat tak bisa dilakukan, pengetahuan lokal perlahan hilang dan relasi antar-generasi mulai retak.
Masyarakat yang selama ini mandiri berubah menjadi tergantung pada proyek-program yang tidak berkelanjutan. Inilah luka yang sesungguhnya-luka yang tidak selalu berdarah tapi membunuh dari dalam.
Ketika pembangunan tak lagi mendengar jeritan mereka yang paling terdampak, maka itu bukan lagi pembangunan, melainkan pemaksaan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar