“Janji Pembangunan Menjadi Luka yang Terbuka”

Antara Tanah Adat dan DOB

Arjun Adam

Ketiadaan peta wilayah adat yang diakui secara legal menyebabkan banyak masyarakat adat tidak bisa membuktikan kepemilikan mereka di hadapan hukum.

Di sisi lain, negara dan juga investor memiliki dokumen legal yang justru kerap mengabaikan dimensi sejarah dan moral kepemilikan tanah. Akibatnya masyarakat adat berada dalam posisi yang lemah dan  terpinggirkan.

Pemekaran wilayah yang di klaim sebagai jalan mempercepat pelayanan publik dan pemerataan pembangunan, nyatanya seringkali dibarengi dengan proyek-proyek tambang, perkebunan skala besar, atau jalan-jalan baru yang menggusur ruang hidup masyarakat adat.

Baca Juga: Menimbang Polemik DOB Sofifi

Di atas kertas, otonomi berarti kemandirian. Tapi di lapangan, otonomi kerap kali menjadi alat baru untuk mengatur, merampas, bahkan mengkriminalisasi mereka yang bertahan pada haknya sendiri.

Masyarakat adat yang menolak menyerahkan tanahnya seringkali dicap sebagai penghambat pembangunan. Padahal, merekalah penjaga alam yang sesungguhnya.

Mereka menolak bukan karena tak paham arti kemajuan, tapi karena mereka terlalu paham arti kehilangan. Mereka tak anti-perubahan, tapi menuntut keadilan agar perubahan tak berarti kehilangan.

Negara seharusnya menjadi pelindung, bukan penindas. Namun kenyataannya, banyak kebijakan Daerah Otonomi Baru (DOB) justru lahir tanpa partisipasi penuh dari masyarakat adat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4

Komentar

Loading...