“Balas Pantun” DOB Sofifi

Bagaimana mungkin provinsi dengan indikator kesejahteraan serendah ini mampu membiayai sebuah DOB baru, Bukankah lebih masuk akal jika kekuatan fiskal dan kelembagaan justru diperkuat dulu di daerah induk.
Budaya sebagai identitas dasar orang Maluku Utara juga tak boleh dikorbankan dalam permainan administratif. Penolakan terhadap DOB Sofifi bukan sekadar urusan anggaran dan infrastruktur, tapi juga refleksi dari ketidaknyamanan sosial yang kian terakumulasi dalam bingkai penindasan wajah baru yang disebut pembaguan.
Hemat penulis pemekaran DOB Sofifi ini terlalu terburu-buru dan tidak melalui musyawarah mufakat, padahal secara filosofis, musyawarah adalah ruh utama dari kearifan lokal Maluku Utara.
Baca Juga: Prostitusi dalam Tubuh Pendidikan
Jika hari ini pemekaran justru membuat rakyat saling curiga, maka benih konflik horizontal telah ditanam sejak dini. Lantas siapa yang mau bertanggungjawab jika warga sudah saling bunuh-bunuhan. Sekali lagi Pikir matang-matang.
Membuka DOB tanpa membangun narasi kebudayaan adalah proyek tanpa jiwa. Apalagi jika hanya dilandasi logika administratif dan ambisi politik jangka pendek.
Penolakan yang muncul dari berbagai elemen masyarakat adalah alarm bahwa proses ini tidak inklusif, tidak demokratis, dan tidak menghargai keragaman Maluku Utara.
Cukup sudah haltim dan halteg menjadi cerminan nyata hari ini setelah mekar menjadi kabupaten banyak infestasi masuk dan merusak alam serta masyarakat yag terpecah belah dalam konflik tambang.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar