“Balas Pantun” DOB Sofifi

Bachtiar S. Malawat

Ini bukan main domino, kalah lalu koco ulang. DOB membutuhkan kesiapan. Jika ada masalah diselesaikan bukan atur hadirkan kebijakan yang memecah bela masyarakat.

Mari belajar dari pengalaman Papua. Sejak pemekaran DOB seperti Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan, sejumlah laporan termasuk dari Komnas HAM dan LIPI menyebutkan adanya peningkatan konflik horizontal, perebutan sumber daya, dan fragmentasi etnis yang tajam.

Baca Juga: Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang

Hal serupa terjadi di Sulawesi Barat pada awal 2000-an, di mana studi dari Universitas Hasanuddin (2021) menunjukkan bahwa ketimpangan antara kabupaten induk dan DOB justru meningkat 21% dalam lima tahun pertama pasca pemekaran. Lalu, apakah kita ingin Maluku Utara mengulang pola kegagalan yang sama. Tolong dipikir matang-matang.

Dari sisi politik, DOB kerap dijadikan proyek elite untuk memperluas kekuasaan dan mengamankan posisi politik jangka panjang.

Dalam Decentralization and Democracy in Indonesia (2009), Edward Aspinall menulis bahwa “DOB menjadi alat konsolidasi patronase, bukan distribusi kesejahteraan.”

Baca Juga: PENDIDIKAN INDONESIA: Habis Gelap Terbitlah Gelap

Wacana DOB Sofifi perlu dibaca dengan kacamata itu. Siapa sebenarnya yang diuntungkan, Apakah rakyat di Oba akan merasakan perubahan nyata, atau hanya menjadi penonton.

Ketimpangan wilayah juga semakin nyata ketika kita melihat data BPS 2024. Angka kemiskinan di Halmahera Timur dan Halmahera Selatan masih di atas 19%, sementara angka pengangguran di Kota Ternate dan Tidore naik 4,2% dalam dua tahun terakhir.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...