Pudarnya Pesona Halmahera

Mereka justru menjadi penonton di tanah sendiri, bahkan seringkali menjadi korban atas nama pembangunan yang eksploitatif.
Faris Bobero dalam bukunya Orang Halmahera menyuarakan keresahan mendalam tentang proses penghapusan identitas yang dialami oleh masyarakat lokal.
Bagi Faris, identitas ke-Halmaheraan yang dulu tegas, kini dirundung kekaburan akibat hadirnya kepentingan ekonomi yang membungkam suara lokal. Desa-desa adat dipaksa berhadapan dengan perusahaan-perusahaan tambang raksasa.
Baca Juga: Penjara untuk Rakyat, Karpet Merah untuk Tambang
Hutan, yang selama ratusan tahun menjadi sumber pangan, obat, dan ruang spiritual, dibabat tanpa ampun. Di sisi lain, generasi muda Halmahera terjebak dalam dilema antara melawan atau ikut larut dalam sistem kerja kontrak tambang.
Keputusan untuk bertahan sebagai penjaga warisan leluhur seringkali dianggap sebagai sikap anti-modern, padahal justru di sanalah letak kemuliaan hidup yang hakiki.
Realitas ini menjadi semakin menyakitkan ketika pemerintah daerah dan pusat justru menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan praktik eksklusi masyarakat lokal dari ruang-ruang pengambilan keputusan.
Laporan dari Walhi Maluku Utara pada tahun 2023 menyebutkan bahwa dari total izin usaha pertambangan (IUP) di Maluku Utara, lebih dari 60% berada di Halmahera.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar