Pudarnya Pesona Halmahera

Oleh: Bachtiar S. Malawat
(Founder Forum Insan Cendikia (FIC) Maluku Utara)
Kawan-kawan, Halmahera pernah dikenal sebagai jantung dari kerajaan-kerajaan besar di Timur. Tanah ini tidak hanya menyimpan keindahan alam yang tak tertandingi, tapi juga warisan sejarah dan budaya yang menjadi denyut nadi peradaban Maluku Utara.
Dalam narasi panjang sejarah kepulauan rempah-rempah, Halmahera memiliki peran sentral yang tidak bisa diabaikan. Namun, pesona itu perlahan memudar, bukan karena waktu, melainkan karena kerakusan dan kebijakan yang tidak berpihak pada warisan sejarah dan keberlanjutan alam.
Baca Juga: Implementasi Pendidikan Inklusif, Antara Paradigma Humanistik dan Realitas Struktural
Eksploitasi tambang menjadi titik balik yang menyakitkan dalam kisah panjang Halmahera, menjadikannya ladang yang digerus habis-habisan atas nama investasi dan pembangunan.
Dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah, sejarawan M. Adnan Amal menggambarkan Halmahera sebagai tanah subur yang menjadi arena perebutan pengaruh antara kekuatan lokal dan kolonial.
Halmahera bukan sekadar pulau, melainkan simbol dari keterhubungan antara alam, manusia, dan kekuasaan. Ia adalah ruang hidup yang dimaknai secara spiritual oleh masyarakatnya.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 23 Juli 2025
Namun kini, kesakralan tanah itu ternoda oleh industri tambang nikel, emas, dan batu bara yang mengepung hampir seluruh wilayah daratannya.
Ironisnya, kekayaan yang diekstraksi dari tubuh Halmahera justru tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat setempat.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar