(Kajian Yuridis)

Problematik Pembentukan DOB Sofifi

Hendra Karianga

Upaya meningkatkan status Sofifi menjadi kota otonom terus diperjuangkan dan sejalan dengan keinginan pemerintah pusat. Tanpa status sebagai kota otonom, anggaran dari APBN tidak dapat dikucurkan.

Hukum keuangan negara menentukan demikian: desa dan kelurahan bukan domain APBN, tetapi pemerintah kota. Dalam hal ini berlaku asas hukum dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Baca Juga: MARKAS Sesalkan Dugaan Penggiringan ASN Kota Tidore dalam Aksi Penolakan DOB Sofifi

Titik temu harus dicapai, dan hal itu hanya mungkin melalui dialog antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan. Salah besar apabila Gubernur Sherly Laos ingin menjadikan Sofifi sebagai kota otonom tanpa berdialog dengan pemerintah dan rakyat Kota Tidore Kepulauan, hanya berlindung pada pemerintah pusat.

Sultan Tidore, H. Husain Syah, beberapa waktu lalu menyampaikan pesan kepada Presiden Prabowo Subianto melalui video conference (VC), agar pemerintah melakukan revisi atas UU No. 46 Tahun 1999 khususnya Pasal 9 ayat (1), yang menetapkan Sofifi sebagai ibu kota.

Usulan untuk mengubahnya menjadi: "Ibu Kota Provinsi Maluku Utara di Kota Tidore Kepulauan, bertempat di Sofifi" patut menjadi bahan renungan bersama guna memecah kebuntuan dialog.

Baca Juga: “City Manager”, Model Pendekatan Menejemen Kota Sofifi Pra “DOB”

Sebab, sejak awal pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kota Tidore memang menjadi salah satu kandidat ibu kota, bersamaan dengan Gotalamo, Sidangoli, dan Sofifi.

Persoalannya, mungkinkah ide Sultan Tidore itu terwujud? Dalam politik, selalu ada kemungkinan. Dari berbagai kemungkinan, harus dilakukan dialog secara komprehensif di antara seluruh komponen masyarakat, pemerintah provinsi, dan pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6

Komentar

Loading...