Menjahit Luka Moral di Tanah Rempah: Peran BK dalam Isu Kekerasan Seksual

Tanah Rempah tidak boleh hanya harum oleh kejayaan sejarah rempahnya, tetapi juga oleh nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang hidup dalam praktik sosial kita. Isu kekerasan seksual adalah panggilan untuk berpihak.
BK bukan sekadar fungsi administratif, tetapi panggilan moral untuk menjahit kembali nilai-nilai yang robek. Tangisan korban bukan sekadar emosi, melainkan cermin trauma mendalam yang menyisakan luka psikologis jangka panjang seperti PTSD, depresi, kecemasan, bahkan kehilangan identitas diri.
Lebih dari itu, kekerasan seksual mencerminkan ketimpangan sosial, di mana kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas lebih sering menjadi korban.
Baca Juga: Peran Pendidikan dalam Mencegah Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak di Maluku Utara
BK mendukung pendekatan keadilan restoratif yang memulihkan korban dan, bila memungkinkan, merehabilitasi pelaku, tetapi tetap mengedepankan keadilan bagi korban, termasuk hukuman yang setimpal.
Di daerah-daerah terpencil seperti Maluku Utara, akses terhadap keadilan formal sering kali dihambat oleh faktor budaya, ekonomi, maupun sosial.
Korban kerap enggan melapor karena rasa takut, stigma, atau ketidakpercayaan terhadap sistem. Dalam konteks ini, BK hadir sebagai jembatan yang membantu korban menemukan jalur keadilan.
Kini saatnya kita berdiri bersama, bersuara untuk yang dibungkam, dan menjadi tangan yang menjahit luka-luka yang terlalu lama dibiarkan menganga di Tanah Rempah.(*)
Komentar