Emergency Exit untuk Ibu Kota

Banyaknya daerah yang perkembangannya lambat ini pun terlihat hingga 2021-2022. Merujuk pada Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) Kemendagri, setidaknya ada 181 kabupaten dan 34 kota yang kinerjanya terbilang rendah.
Banyak faktor penyebab kegagalan daerah otonom baru menghadirkan mimpi indah pemekaran wilayah, mulai dari ketidaksiapan administratif daerah, ketergantungan fiskal, konflik kepentingan politik, minus partisipasi publik, ketidakcukupan sumber daya, salah kelola sumber daya alam, ketimpangan pembangunan, hingga labirin konflik sosial dan politik.
Baca Juga: Problematika 25 Tahun Keberadaan “Ibu Kota Imajiner Sofifi”
Karenanya, pemekaran wilayah tidak selamanya atau setidak-tidaknya bukan satu-satunya solusi mewujudkan cita-cita sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sederhananya, ada banyak masalah yang pangkalnya terjadi bukan karena tidak dimekarkannya suatu daerah.
Faktanya, berdasarkan laporan Kemendagri sebagaimana dikutip Kompas, pemekaran wilayah tidak hanya gagal mewujudkan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, justru menambah daftar panjang salah kelola pemerintahan yang berdampak pada minimnya rakyat sejahtera.
Sofifi Case, Tiga Ide Dasar
Konteks Sofifi, catatan penulis setidaknya ada tiga polarisasi isu respon publik mengenai Sofifi Ibu Kota Maluku Utara. Pertama mendorong DOB Sofifi; kedua Kota Tidore Kepulauan sebagai Ibu Kota; dan ketiga Sidangoli sebagi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara.
Pertama; untuk usulan DOB Sofifi perlu dibicarakan serius. Apa yang mau dicapai dengan DOB Sofifi? Apakah hanya karena sekedar kehendak normatif Pasal 9 ayat (1) UU No. 46/1999? Ataukah ada alasan lain yang lebih mendesak?
Jangan-jangan setelah pemekaran sofifi, justru menambah daftar daerah salah kelola sebagaimana laporan Kemendagri!. Pada titik inilah, perlu diskusi serius semua pihak.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar