Site icon MalutPost.com

Meneguhkan Identitas Halmahera Timur di Tengah Arus Globalisasi

Muhammad Wahyudin

Oleh: Muhammad Wahyudin
(Mahasiswa Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan FKIP Unkhair Ternate)

Halmahera Timur adalah sebuah kabupaten yang terletak di ujung timur Pulau Halmahera, Provinsi Maluku Utara. Secara administratif, wilayah ini berpusat di Kecamatan Maba dengan jumlah penduduk sekitar 99.224 jiwa dan kepadatan penduduk 14 jiwa per kilometer persegi.

Meski tergolong wilayah yang baru dimekarkan pada 25 Februari 2003, Halmahera Timur memiliki sejarah panjang yang kaya akan makna, nilai, dan identitas kebudayaan.

Baca Juga: Navigasi Kepekaan Pemimpin

Penamaan “Halmahera Timur” memiliki akar sejarah yang panjang. Istilah ini mulai digunakan sejak para tokoh dan alim ulama Islam membagi jazirah Halmahera menjadi beberapa wilayah dakwah sejak abad ke-10 hingga ke-11.

Kata “Zajirah” berasal dari bahasa Arab yang berarti semenanjung atau pulau, digunakan untuk membagi wilayah secara geografis dan sekaligus mempertegas peran strategis wilayah ini dalam penyebaran Islam di masa lampau.

Pada abad ke-14 hingga ke-15, bangsa Eropa seperti Portugis dan Spanyol mulai memasuki wilayah Maluku dengan misi tersembunyi: menguasai rempah-rempah.

Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 14 Juli 2025

Masa itu menandai awal kolonialisme modern yang mengguncang tatanan lokal masyarakat Nusantara. Wilayah kekuasaan di Halmahera kemudian dibagi antara dua kesultanan besar, Tidore dan Ternate.

Sultan Mole Majimo dari Tidore dan Sultan Said Barakat Syah dari Ternate bahkan sempat bersepakat membagi wilayah kekuasaan sekitar tahun 1604–1606 di Dodinga.

Baca Halaman Selanjutnya..

Dalam kesepakatan itu, bagian timur Halmahera menjadi milik Tidore yang membawahi Maba, Patani, dan Weda tiga wilayah adat yang dikenal dengan sebutan Fagogoru.

Namun, kejayaan masa lalu tidak serta merta menjamin kemajuan masa kini. Kini, Halmahera Timur berada di tengah pusaran arus modernisasi dan globalisasi yang sering kali justru menjadi bumerang.

Kekayaan budaya, spiritualitas, dan nilai-nilai lokal mulai tergantikan oleh gaya hidup instan, budaya konsumtif, serta ketergantungan pada produk dan gagasan dari luar.

Baca Juga: Bumi Fagogoru

Menurut Ayatollah Ali Khamenei, saat ini kita sedang berada di medan perang budaya. Perang yang tidak menggunakan senjata, tetapi ide dan gaya hidup.

Ini adalah bentuk baru dari kolonialisme disebut “new colonialism” yang tidak menaklukkan secara fisik, melainkan secara mental dan kultural. Kolonialisme hari ini menyusup lewat media, teknologi, gaya hidup, dan bahkan pendidikan.

Tujuannya jelas: mereduksi identitas lokal dan menggantinya dengan cara pandang yang menjauhkan manusia dari akar budaya dan nilai hidupnya.

Edward Said, dalam karyanya Orientalism, menunjukkan bagaimana dunia Barat secara sistematis membentuk persepsi tentang dunia Timur (termasuk Indonesia) sebagai “yang lain” yang terbelakang dan perlu diselamatkan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Melalui cara pandang inilah, budaya lokal sering kali dianggap inferior. Antonio Gramsci menamainya dengan istilah hegemoni budaya, yaitu kekuasaan yang bekerja secara halus melalui nilai, norma, dan cara berpikir, bukan melalui kekerasan.

Dalam konteks Halmahera Timur, hegemoni ini sangat nyata. Budaya asing mengalir deras melalui televisi, media sosial, internet, dan pola pendidikan yang menjauh dari konteks lokal.

Ironisnya, kaum terpelajar yang seharusnya menjadi penjaga nilai dan penghubung antara pengetahuan modern dan kearifan lokal, justru seringkali terjebak dalam menara gading akademik.

Baca Juga: Tranformasi Fagogoru sebuah Visi Ikram M. Sangaji

Mereka lebih nyaman mengutip teori Barat daripada menyelami akar budaya lokal masyarakatnya sendiri. Akibatnya, terjadi jarak sosial dan intelektual antara kaum terpelajar dan rakyat.

Ali Syariati, seorang pemikir revolusioner dari Iran, menyebut manusia tercerahkan sebagai mereka yang mampu keluar dari belenggu ketakutan dan ketidaktahuan menuju kematangan akal dan kesadaran sejarah.

Pencerahan, menurutnya, adalah proses membebaskan diri dari ketergantungan, baik terhadap tradisi yang membatu maupun terhadap kekuasaan hegemonik yang menindas. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang sadar akan tanggung jawab sosialnya untuk melakukan perubahan.

Sayangnya, banyak masyarakat kita justru terjebak dalam fanatisme, taklid buta, dan kebiasaan bergantung pada kekuatan eksternal. Mereka membiarkan dirinya dijajah secara ideologis dan kultural.

Baca Halaman Selanjutnya..

Mereka tidak lagi menggunakan akal sebagai alat untuk memahami realitas sosial dan mencari solusi. Mereka pasrah, menyerah, dan kehilangan semangat untuk menjadi tuan di negeri sendiri.

Padahal, kebangkitan masyarakat Halmahera Timur bukan hanya soal pembangunan fisik atau infrastruktur. Lebih penting dari itu adalah membangun kembali kesadaran kolektif yang bersandar pada keyakinan, adat, dan budaya.

Seperti dikatakan Baqir Shadr, ada tiga syarat yang harus dipenuhi agar sebuah masyarakat bisa bangkit:
(1) memiliki ajaran yang benar,
(2) beriman kepada ajaran tersebut, dan
(3) memahami serta menginternalisasi ajaran itu dalam kehidupan sosial.

Baca Juga: FAGOGORU

Ketiganya harus berjalan bersamaan. Jika satu saja hilang, maka kebangkitan akan menjadi semu. Kini saatnya kita menatap masa depan Halmahera Timur dengan kesadaran baru.

Kesadaran bahwa kita tidak bisa terus bergantung pada luar. Kita tidak bisa terus meminjam cara berpikir orang lain untuk memahami diri kita sendiri. Kita harus membumikan kembali nilai-nilai lokal yang telah terbukti menjaga harmoni sosial selama berabad-abad.

Dan tugas ini tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah atau elit tertentu. Dibutuhkan manusia-manusia baru yang lahir dan tumbuh dari masyarakat yang memahami realitasnya secara langsung, yang menyatu dengan denyut nadi kehidupan rakyat, yang tidak mengambil jarak, tetapi justru menjadi bagian dari perjuangan kolektif.

Baca Halaman Selanjutnya..

Manusia-manusia inilah yang akan menjadi pelopor kebangkitan Halmahera Timur. Mereka akan memainkan peran profetik dalam menyerukan kesadaran, membangkitkan semangat, dan memulihkan jati diri masyarakat yang telah lama terkikis.

Mereka akan menjadi “nabi sosial” yang mengajak masyarakat keluar dari kebingungan dan keterasingan, menuju kebebasan dan keberdayaan. Dengan demikian, kebangkitan Halmahera Timur adalah proyek kultural, spiritual, dan intelektual sekaligus.

Sebuah perjuangan panjang yang harus dimulai hari ini sekarang juga dari hal-hal paling mendasar: mengenali diri, memahami sejarah, mencintai budaya, dan melawan segala bentuk penjajahan baru, dalam wujud apa pun. (*)

Exit mobile version