Transisi Energi, Luka yang Ditinggalkan di Halmahera

Oleh: Asep Gunawan
(Penulis adalah ASN Kabupaten Kepulauan Sula)
Di tanah tempat kami tinggal, langit memang tak berubah. Tapi udara tak lagi bersih. Mobil listrik terus dipromosikan sebagai simbol masa depan hijau.
Namun, di balik narasi keberlanjutan itu, warga di Halmahera justru harus menghirup debu tambang dan menanggung limbah nikel. Transisi energi di pusat tampak megah, tapi di tapal batas, ia menyisakan luka.
Hijau yang Tak Ramah di Pinggiran
Mobil listrik kini menjadi simbol peradaban modern yang ramah lingkungan. Pemerintah pusat dan kota-kota besar berlomba menyambutnya dengan insentif, stasiun pengisian daya, dan iklan kemajuan.
Baca Juga: Transisi Energi, Praktik Ekstraktivisme, dan Masa Depan Wilayah Pulau
Namun, di tempat-tempat seperti Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan, narasi hijau itu terdengar asing.
Bukan karena warganya menolak kemajuan, tapi karena yang datang lebih dulu adalah bencana ekologis, bukan manfaatnya. Saat kota bicara baterai, desa-desa di lingkar tambang justru bicara napas.
Euforia Nasional dan Angka-angka di Jakarta
Dalam beberapa tahun terakhir, penjualan kendaraan listrik di Indonesia melonjak drastis. Pada 2024, lebih dari 43 ribu unit mobil listrik terjual.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 10 Juli 2025
Pemerintah menargetkan dua juta mobil listrik pada 2030, lengkap dengan 25 ribu SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum). Merek asing seperti BYD, Hyundai, dan Wuling saling berebut pasar urban kelas menengah.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar