AI dan Krisis Ekologi: Solusi atau Ancaman Baru?

Tingkat konsumsi yang lebih tinggi, opsi perbaikan yang terbatas, siklus hidup produk yang pendek, meningkatnya elektrifikasi, dan infrastruktur pengelolaan limbah elektronik yang tidak memadai, merupakan penyebab semakin meningkatnya limbah elektronik.
Lantas, bagaimana Indonesia menyikapi kedua persoalan di atas?
Dikenal sebagai negara mega-biodiversity dan termasuk dalam anggota United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia perlu memanfaatkan teknologi AI untuk menjaga kelestarian keanekaragaman hayati, sekaligus mendukung aksi-aksi iklim berbasis teknologi.
Baca Juga: Hilirisasi Nikel dan Luka Ekologis di Teluk Weda
Lebih dari itu, AI berpotensi memberikan solusi konkret terhadap berbagai persoalan ekologis lainnya di Indonesia.
Dilansir Kompas (24/10/2024) dalam artikel bertajuk “Inovasi AI, Menuju Ekonomi Berkelanjutan”, dijelaskan bahwa AI memang menawarkan metode inovatif untuk meningkatkan kesadaran ekologis, tetapi implementasinya penuh tantangan.
Setidaknya, AI mengandalkan data berkualitas tinggi untuk menghasilkan analisis yang akurat, serta membutuhkan biaya investasi yang tinggi. Jika data yang tersedia berkualitas rendah, serta keterbatasan sumber daya finansial, maka hal ini akan menjadi kendala.
Selain itu, Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu diatasi guna mengoptimalkan pemanfaatan dan pengembangan AI, khususnya dalam mengatur tatanan ekologis.
Baca Juga: Transisi Energi, Luka yang Ditinggalkan di Halmahera
Pertama, Indonesia perlu memiliki regulasi tentang AI yang jelas agar penggunaannya berlangsung secara etis dan bertanggung jawab.
Pada 2020, pemerintah Indonesia memang sudah merilis Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia (Stranas KA) yang memuat etika dan kebijakan AI. Namun, Stranas KA bukanlah dokumen yang mengikat, melainkan hanya arah kebijakan nasional.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar