“Drama Kota, Jilid Dua”

Ini sinyal tak bisa anggap remeh temeh. Kausalitas politik, absen bukan berarti bolos, publik mungkin berasumsi liar ditiadakan secara halus.
Saat publik membaca bahasa tubuh itu, Nasri Abubakar demikian pula angkat bicara. Dengan nada enjoy serta ekspresi kehati-hatian, ia pun beri penegasan bahwa dirinya memang benar tidak diundang, walaupun mengetahui ada rapat melalui grup WhatsApp.
Pernyataannya ini ialah bukan saja sekadar klarifikasi, tapi juga menunjukan arah kekecewaan yang tanpa orang ketahui meski yang di ucap bahasa birokratis.
Apa yang menjadi gerangan semua ini terjadi begitu saja? Ataukah Wali Kota kembali pada sejarah kesalahan masa terdahulu dengan sengaja atau tidak sengaja memanipulaif ruang gerak wakilnya? Ataukah jangan-jangan ini bagian dari skema kebalasan kekuasaan menjelang tahun politik mendatang 2029?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus ada jawaban jujur karena kenapa politik kota Ternate terlalu sentralistik tanpa dorongan loa sebanari falsafah keternatean(lurus dan benar) jika tak ingin hancur "berbenahlah"sebelum luka lama menjadi telur busuk di tubuh pemerintahan.
Membaca Ulang Memori Lama
Ketegangan antara Wali Kota-wakil walikota periode yang dahulu kala adalah mata pelajaran politik belum usang di konsumsi publik, keduanya secara catur demokrasi terpilih dengan matematis dalam pilkada.
Namun hentakan waktu berjalan tidak lama kemudian publik saksikan keterbelahan komunikasi antar pemimpin ,Jasri merasa diabaikan dari keputusan strategis kebijakaan dan praktis sehingga kehilangan kewenangan sebagai wakil walikota.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar