Memaknai Perjuangan: Antara Gerakan Ekologis dan Gerakan Teologis

Oleh: Badwi Pina
(Ketua DEMA IAIN Ternate)
MalutPost.com -- Fenomena degradasi lingkungan kini telah menjadi tontonan yang acapkali kita temukan dalam keseharian, baik secara empiris fakta-fakta yang kita temukan langsung maupun melalui informasi-inforamasi yang bertaburan di berbagai platform media sosial. Isu lingkungan merupakan isu yang mewarnai diskursus di era mutakhir ini, tak terkecuali di Maluku Utara.
Belakangan ini, penangkapan 11 warga Maba Sangaji oleh teman-teman kepolisian yang dinilai ‘bermasalah’ cukup menyita perhatian kita semua.
Baca Juga: Surat Terbuka untuk Presiden Prabowo Subianto
Tangisan para istri, anak-anak, orang tua, dan keluarga 11 warga Maba Sangaji saat putusan sidang pra-peradilan di Pengadilan Negeri Soasio, Tidore Kepulauan 16 Juni kemarin bukan sekedar bentuk kekecewaan kepada institusi negara, tetapi alarm bagi umumnya masyarakat Maluku Utara bahwa akan ada lebih banyak tangisan kedepannya jika hari ini kita abai dengan kondisi halmahera.
Dalam tulisan ini, saya tidak sedang mengomentari proses hukum atas penangkapan 11 warga itu, akan tetapi ingin mengikis hati masyarakat Maluku Utara yang seyogyanya adalah masyarakat religus nan masih berpegang pada norma-norma agama untuk membuka dan merefleksikan kembali nilai-nilai dari teks-teks suci yang hampir diselimuti debu kotor pertambangan.
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 30 Juni 2025
Tulisan ini bukanlah teks khutbah yang menyodorkan dalil-dalil agama untuk sekedar didengar, dan untuk sekedar memenuhi rukun sholat Jum’at, seperti pada umumnya.
Tulisan ini adalah kritik kepada pemuka dan tokoh-tokoh agama lokal yang bersembunyi dalam mantra-mantra suci dan gemerlap cahaya dari jubah putih yang mereka kenakan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar