Antara Kehancuran Tubuh dan Kesadaran Etis Global
Filsafat Perang Modern

Filsafat sebagai Bentuk Kesadaran Etis Global
Dalam dunia yang berada di tepi kehancuran, ancaman nuklir bukan hanya persoalan diplomatik atau strategi militer. Ia adalah pertanyaan eksistensial tentang makna tubuh, kekuasaan, dan masa depan manusia.
Ketika tubuh menjadi target nuklir, maka seluruh nilai kemanusiaan sedang dipertaruhkan. Tidak semua bentuk kekuasaan layak dijalankan, dan tidak semua teknologi layak digunakan.
Filsafat perang harus menjadi ruang bagi kesadaran kolektif bahwa tubuh manusia dengan seluruh makna biologis, kultural, dan spiritualnya tidak boleh dikorbankan demi kekuasaan politik semata.
Filsafat perang tidak hanya mempersoalkan kekuasaan dan kehancuran, tetapi juga mengusulkan paradigma etika baru mengenai tubuh sebagai pusat dari perdamaian, bukan alat kekuasaan.
Filsafat mengingatkan kita bahwa politik yang melupakan tubuh dan budaya manusia sebagai pusat nilai akan menjelma menjadi mesin penghancur. Karena itu, pemikiran kritis dan etika global harus menjadi fondasi kebijakan internasional.
Indonesia dan bangsa-bangsa lainnya memiliki tanggung jawab untuk menghadirkan kembali politik yang berakar pada penghormatan terhadap kehidupan, bukan sekadar dominasi.
Mengutip pendapat klasik filsuf perang Cina Sun Tzu dalam karyanya yang legendaris “The Art of War”, Sun Tzu tidak memandang perang sebagai alat penghancuran, melainkan alat strategis untuk mencapai perdamaian dan stabilitas dengan kerugian seminimal mungkin.
Prinsip utama Sun Tzu: “Perang terbaik adalah yang dimenangkan tanpa pertempuran.” Serta “Kemenangan sejati dicapai bukan dengan kekuatan brutal, melainkan dengan kecerdikan, penguasaan diri, dan pemahaman atas musuh”. (*)
Komentar