Sebuah Catatan atas Putusan Praperadilan 11 Warga Maba Sangaji
“Kami Bukan Penjahat, Kami Penjaga Tanah Leluhur”

Di sini kita melihat bagaimana hukum dapat dijadikan alat untuk menormalisasi ketimpangan. Seharusnya hukum melindungi yang lemah dari yang kuat. Tapi dalam kasus ini, hukum justru berdiri di samping korporasi, bukan rakyat.
Kami Tak Menolak Hukum, Kami Menuntut Keadilan.!
Saya tidak dalam posisi menolak proses hukum. Tapi kami punya hak untuk curiga, mempertanyakan, dan mengkritisi ketika hukum dipakai sepotong-sepotong.
Penetapan tersangka ini tidak berdiri di ruang hampa ia lahir dari konflik agraria yang penuh kekerasan struktural dan sejarah penyingkiran.
Apa salahnya mempertahankan hutan? Apa keliru jika seorang ibu menghalangi alat berat yang akan menggusur ladangnya? Sejak kapan menjaga tanah leluhur menjadi tindak pidana?
Baca Juga: Koran Digital Malut Post Edisi 17 Juni 2025
Yang kami perjuangkan bukan hanya 11 orang, melainkan prinsip bahwa masyarakat adat tidak boleh terus-menerus dikriminalisasi. Bahwa tanah bukan sekadar objek ekonomi, tapi identitas dan nyawa.
Putusan praperadilan ini bukan akhir, tapi awal dari babak baru perjuangan. Kami akan terus membuka ruang hukum dalam pokok perkara, di Komnas HAM, di Ombudsman, bahkan di ruang publik yang lebih luas.
Kami tidak akan diam. Karena yang mereka lakukan bukan kejahatan, tapi bentuk paling murni dari kecintaan terhadap kampung halamannya. Mungkin negara tidak bisa membela mereka sekarang, tapi sejarah akan menuliskan siapa yang sesungguhnya berada di pihak yang benar.
Berdiri bersama mereka bukan karena mereka tidak bersalah, tetapi karena mereka adalah suara yang selama ini dibungkam oleh kekuasaan dan uang. Jika ini disebut kriminal, maka kita harus bertanya ulang siapa sebenarnya yang merusak hukum, yang membajak keadilan? (*)
Komentar