Site icon MalutPost.com

Tragedi Hukum Maba Sangaji : Penangkapan Sepihak yang Menginjak Asas Lex Specialis dan Proporsionalitas

Farhan Sangaji, S.H

Oleh: Farhan Sangaji, S.H
(Pegiat Ilmu Hukum)

Indonesia kembali mengalami tragedi hukum yang mempertontonkan ketidakadilan dalam penegakan hukum. Penangkapan 11 masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, pada Mei 2025.

Menjadi bukti nyata bagaimana sistem peradilan pidana kita masih terjebak dalam paradigma represif yang mengabaikan asas-asas fundamental hukum pidana.

Para warga yang hanya berusaha mempertahankan hutan adat mereka dari kerusakan akibat aktivitas tambang nikel PT Position kini harus berhadapan dengan jeratan hukum yang tidak proporsional.

Mereka dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang senjata tajam, UU Darurat ini pada masanya dibuat dalam konteks khusus untuk mengatasi situasi keamanan pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

Khususnya menghadapi pemberontakan seperti DI/TII dan gerakan separatis lainnya. sebuah produk hukum era kolonial yang sangat tidak relevan untuk diterapkan pada kasus demonstrasi damai masyarakat adat di era modern.

Problematika Penerapan UU Darurat No 12 tahun 1951

Penggunaan UU Darurat 12/1951 dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang relevansi dan proporsionalitas.

Undang-undang ini lahir pada masa transisi kemerdekaan Indonesia ketika situasi keamanan masih sangat labil dan ancaman terhadap stabilitas negara masih tinggi. Konteks historis tersebut sangat berbeda jauh dengan realitas kasus Maba Sangaji.

Baca Halaman Selanjutnya..

Pada tahun 1951, Indonesia masih menghadapi berbagai pemberontakan bersenjata dan ancaman disintegrasi bangsa. UU Darurat ini dibuat sebagai respons terhadap situasi darurat yang memerlukan penindakan tegas terhadap kepemilikan senjata ilegal.

Namun menerapkan undang-undang tersebut pada masyarakat adat yang melakukan aksi damai untuk mempertahankan tanah ulayat mereka adalah sebuah kekeliruan fundamental dalam penalaran hukum. Ancaman pidana 10 tahun penjara dalam UU ini jelas tidak proporsional jika diterapkan pada konteks demonstrasi.

Perbuatan membawa senjata tajam dalam konteks aksi protes masyarakat adat yang sifatnya simbolis dan tidak menimbulkan korban jiwa atau kerusakan material tidak seharusnya diperlakukan sama dengan tindak pidana kepemilikan senjata dalam konteks kriminal umum.

Bayangkan jika Anda sedang menyuarakan aspirasi dengan cara yang damai, namun tiba-tiba dijerat dengan undang-undang yang seharusnya digunakan untuk situasi perang atau darurat militer. Ini seperti menggunakan meriam untuk menembak burung pipit-tidak proporsional dan mengabaikan instrumen hukum yang lebih tepat.

Pelanggaran Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Kasus ini juga menunjukkan pelanggaran terhadap asas lex specialis derogat legi generali, yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum.

Indonesia memiliki UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang secara khusus mengatur tentang demonstrasi dan penyampaian aspirasi.

UU No. 9 tahun 1998 ini merupakan lex specialis yang seharusnya menjadi payung hukum utama dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan demonstrasi dan penyampairan pendapat.

Baca Halaman Selanjutnya..

Undang-undang ini mengatur secara komprehensif tentang hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, prosedur demonstrasi, serta sanksi-sanksi yang lebih proporsional.

Dengan menggunakan UU Darurat 12/1951 sebagai dasar penuntutan, penegak hukum telah mengabaikan hierarki peraturan perundang-undangan dan prinsip lex specialis.

Hal ini tidak hanya secara teknis yuridis keliru, tetapi juga menunjukkan ketidakpahaman terhadap filosofi hukum pidana sebagai ultimum remedium (upaya terakhir).

Asas Proporsionalitas: Keseimbangan yang Hilang

Proporsionalitas dalam hukum pidana mengajarkan kita bahwa hukuman harus seimbang dengan perbuatan yang dilakukan. Prinsip ini memastikan bahwa tidak ada “pembunuhan karakter” melalui ancaman hukuman yang berlebihan untuk tindakan yang relatif ringan.

Ketika seseorang berdemonstrasi-apalagi jika dilakukan secara damai-ancaman 10 tahun penjara melalui UU Darurat Militer jelas tidak proporsional jika dibandingkan dengan “kejahatan” yang didakwakan.

Untuk konteks yang sama, UU No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat hanya mengancam pidana 6 bulan penjara untuk pelanggaran terhadap ketentuan demonstrasi.

Ini seperti menghukum seseorang yang melanggar rambu lalu lintas dengan hukuman yang sama dengan pelaku pembunuhan. Ketidakseimbangan ini tidak hanya melukai rasa keadilan, tetapi juga menciptakan efek jera yang berlebihan terhadap pelaksanaan hak konstitusional warga negara.

Baca Halaman Selanjutnya..

Absennya Mens Rea dan Konteks Demonstrasi Damai

Salah satu elemen fundamental dalam hukum pidana adalah mens rea atau niat jahat (guilty mind). Dalam kasus Maba Sangaji, tidak terdapat bukti adanya niat jahat dari para demonstran.

Mereka melakukan aksi protes untuk mempertahankan hutan adat yang telah digarap turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Aksi yang dilakukan adalah bentuk perlawanan legitimasi terhadap kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat.

Tidak ada korban jiwa, tidak ada kerusakan fasilitas umum, dan tidak ada tindakan anarkis yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana umum. Yang ada hanyalah perlawanan simbolis masyarakat adat terhadap eksploitasi sumber daya alam di tanah leluhur mereka.

Membawa benda-benda yang dikategorikan sebagai senjata tajam dalam konteks ini lebih bersifat simbolis budaya dan perlengkapan tradisional ketimbang sebagai alat untuk melakukan kejahatan.

Interpretasi yang menyamakan hal ini dengan kepemilikan senjata dalam konteks kriminal adalah bentuk reduksionisme hukum yang berbahaya.

Baca Halaman Selanjutnya..

Penutup

Tragedi hukum Maba Sangaji menjadi cerminan buram wajah penegakan hukum di Indonesia yang masih terjebak dalam paradigma otoriter.

Penggunaan UU Darurat 12/1951 yang tidak relevan, pelanggaran terhadap asas lex specialis, dan ancaman hukuman yang tidak proporsional menunjukkan betapa jauhnya kita dari cita-cita negara hukum yang berkeadilan.

Masyarakat adat Maba Sangaji tidak sedang melakukan kejahatan. Mereka sedang memperjuangkan hak konstitusional untuk hidup di lingkungan yang sehat dan mempertahankan warisan leluhur mereka.

Mengkriminalisasi perjuangan ini sama dengan mengkhianati janji kemerdekaan dan konstitusi. Sudah saatnya Indonesia mengubah paradigma penanganan konflik agraria dan lingkungan dari pendekatan represif menuju pendekatan yang lebih humanis dan berkeadilan.

Hukum harus menjadi instrumen keadilan, bukan alat penindasan. Tanpa perubahan fundamental ini, tragedi serupa akan terus berulang dan melukai sendi-sendi demokrasi serta rule of law di Indonesia.
Wallahu a’lam bishowab. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Senin, 9 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/senin-9-juni-2025.html

Exit mobile version