Dilema Penyiaran di Provinsi Seribu Pulau

Eksistensi KPI Daerah berada di bawah kewenangan provinsi. Dipilih oleh DPRD Provinsi dan ditetapkan oleh Gubernur sesuai Pasal 10 Ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
Di tengah ketidakjelasan anggaran, kami terus bekerja tanpa pamrih. Rumah pribadi kami secara full dijadikan kantor. Aktivitas kantor tetap berjalan. Beberapa lembaga penyiaran yang "bandel" (tak berizin) telah kami bawa ke meja pengadilan hingga berujung penjara.
Rupanya badai belum juga berlalu. Akhir 2019 datang lagi bencana non-alam COVID 19. Selama pandemi, praktis kami sama sekali tak mendapat anggaran. Akhirnya kami mengadu ke Ombudsman Malut.
Pada 2020 lahir UU Nomor 11 Cipta Kerja mengatur migrasi siaran TV analog ke digital pada Pasal 60A. Migrasi itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas siaran televisi dan memanfaatkan teknologi digital. Alhamdulillah, kini masyarakat telah menikmati siaran dengan kualitas prima pada audio-visual.
Namun, hal itu tidak berbanding lurus dengan penganggaran untuk KPID Malut. Malahan anggaran untuk kami "dipingpong" ke sana ke mari. Dari Dinas Kominfo hingga ke Bakesbangpol. Dampaknya muncul kelakar dari rekan kami di Jawa Timur. "Kasihan, KPID Malut telah dikesbangpolkan".
Sementara KPI Daerah lain normal-normal saja, sebab mereka didukung sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mirisnya, KPID adalah salah satu Lembaga Negara yang menggunakan logo Garuda, justru tak bernilai di mata Pemprov Malut.
Lebih tragis lagi saat itu telah berlaku Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 sebagai pedoman teknis pengelolaan keuangan daerah yang menempatkan KPID sebagai salah satu penerima "hibah wajib".
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar