Oleh: Badrun Ahmad
(Dosen Universitas Khairun)
Saya mulai tulisan ini dengan mengutip sebuah ayat suci di dalam Al Qur’an Surat Ar Rum ayat 41. Allah SWT berfirman “Telah Nampak Kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia”. Beginilah arti dari penggalan ayat ini.
Bukan bermaksud mereduksi arti secara holistik. Ayat ini dalam interpretasi beberapa ulama bahwa kerusakan yang ditimbulkan bisa juga kerusakan lingkungan.
Definisi lingkungan ini jika disimplifikasi adalah keseluruhan kondisi sekitar yang memengaruhi suatu organisme atau komunitas. Dalam konteks kerusakan lingkungan berarti kata “kondisi” ini sudah rusak. Iya, kondisi yang rusak ini adalah komponen biotik dan abiotik.
Biotik ini adalah mahluk hidup yang ada disekitar kita misalnya hewan dan tanaman. Abiotik adalah elemen yang mendukung biotik contohnya seperti udara, air, dan tanah.
Rusaknya biotik dan abiotik adalah sebuah konsekuensi logis dari suatu aktivitas manusia yang dapat mencemari lingkungan secara antropogenik.
Contohnya aktivitas pertambangan yang dimulai dari eksplorasi hingga produksi. Aktivitas pertambangan memang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat misalnya hilirisasi nikel untuk inovasi teknologi, pembuatan baterai mobil listrik, campuran baja, dan barang untuk kebutuhan rumah.
Namun, risiko kerusakan lingkungan sangat besar. Kabar baiknya, risiko kerusakan lingkungan ini dapat kita minimalisir melalui rekayasa proses produksi dan rekayasa lingkungan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Misalnya dibangun instalasi pengolahan air limbah tambang. Sayangnya hal ini, menjadi masalah baru karena cost yang timbul dari proses rekayasa ini menjadi lebih besar. Tentunya seorang investor akan berhitung dua kali, tiga kali, dan seterusnya.
Sebab prinsip investasi adalah modal yang sedikit dan mendapatkan profit yang besar. Inilah gambaran prinsip kapitalisme dalam perspektif dunia tambang.
Sehingga acapkali, kita temukan kerusakan lingkungan yang timbul dari aktivitas pertambangan yang masif terjadi. Hal ini memantik lembaga penelitian dan akademisi untuk berlomba melakukan penelitian terkait kerusakan lingkungan yang terjadi dan dipublikasikan ke media.
Pemberitaan yang masif akhir-akhir ini tentang logam berat yang ditemukan pada darah warga di Teluk Weda. Penelitian yang dilakukan Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako menjadi viral dan menjadi isu nasional.
Namun, bukan kali ini saja isu soal logam berat ini santer di Maluku Utara. Sebelumnya banyak sekali berita dan opini yang beredar di media sosial.
Menjadi sebuah manifesto yang dianggap tidak serius oleh pihak terkait, sehingga terus berulang seperti sebuah lingkaran yang tak berujung.
Adagium ini tepat mendeskripsikan kondisi lingkungan yang sudah rusak namun tidak diperbaiki. Ini menjadi bumerang dan bom waktu bagi kita. Sebab, logam berat merupakan unsur logam yang dikenal beracun dan berdampak buruk pada kesehatan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Logam berat yang ditemukan adalah merkuri. Merkuri adalah logam berat yang sangat berbahaya bagi kesehatan jika terpapar jangka panjang. Logam ini persisten dan tidak mudah terurai di lingkungan.
Jika terkonsumsi melalui rantai makanan, manusia adalah top predator dalam rantai makanan yang menanggung tingginya akumulasi merkuri dalam organ tubuhnya.
Inilah prinsip bioakumulasi dalam rantai makanan. Akibatnya apa? Dalam dunia kesehatan lingkungan , setahu saya, merkuri yang ada dalam tubuh manusia akan tertumpuk dalam jaringan lemak, masuk ke dalam proses metabolisme dan menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan DNA.
Dan hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama karena efeknya yang kronik. Konsekuensi dari proses biologis ini menyebabkan kanker. Kanker adalah pertumbuhan sel abnormal yang tidak terkendali yang dapat menyebar ke jaringan sekitar dan organ lain.
Banyak jenis kanker yang ditimbulkan. Merkuri juga secara biokimia bisa bereaksi menjadi metil merkuri yang super berbahaya dan menjadi penyakit mengerikan.
Hal ini terbukti dari sejarah pencemaran logam berat di Teluk Minamata Jepang akibat kegiatan produksi asam asetat yang limbahnya adalah metil merkuri.
Sekitar 17.000 jiwa menjadi korban dan banyak yang menderita penyakit mengerikan seperti bay yang lahir cacat, orang yang masih hidup terkena kanker dan penyakit berbahaya lainnya.
Baca Halaman Selanjutnya..
Pabrik ini sudah ditutup tahun 1968, namun dampak kerusakan lingkungan terhadap kesehatan warga muncul hingga beberapa dekade kemudian. Inilah yang ditakutkan dari aktivitas pertambangan yang abai terhadap kerusakan lingkungan.
Sudah saatnya masyarakat dan pemerintah menjadi lebih aware terhadap kondisi lingkungan ini, jangan sampai menjadi bom waktu yang dapat merugikan generasi berikutnya.
Dampak ekonomi yang ditimbulkan dari aktivitas pertambangan memang baik karena menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi yang mamacu pertumbuhan ekonomi melambung tinggi di Maluku Utara.
Angka pengangguran berkurang karena kehadiran perusahaan yang merekrut banyak tenaga kerja. Maluku Utara sebagai episentrum cadangan nikel terbesar di Indonesia dibandingkan daerah lain.
Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan kapasitas produksi nikel akan ditingkatkan. Kemungkinan konsekuensinya lingkungan juga mengalami kerusakan.
Namun, pemerintah perlu memperketat regulasi dan pengawasan terhadap lingkungan pertambangan agar risiko kerusakan lingkungan dapat diminimalisir.
Sudah saatnya kita menjaga lingkungan kita, bumi tempat dimana kita berpijak. Jangan sampai anak cucu kita menanggung beban akibat kerusakan lingkungan yang diwariskan oleh kita. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 3 Juni 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/06/selasa-3-juni-2025.html