Oleh: Dr. Mufti Abdul Murhum
(Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Unkhair)
Dalam setiap momentum perencanaan pembangunan daerah, harapan publik selalu sederhana: agar visi besar tidak sekadar menjadi dokumen indah, tapi benar-benar menyentuh realitas hidup masyarakat. Saat ini, Maluku Utara sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Ini adalah saat krusial untuk menempatkan perikanan dan kelautan sebagai sektor unggulan, bukan hanya dalam narasi, tapi juga dalam alokasi anggaran, perhatian birokrasi, dan arah pembangunan nyata.
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoandra, dalam sambutannya pada rapat konsultasi publik rancangan RPJMD menyampaikan dengan tegas:
“Kita harus mengakhiri pembangunan yang hanya tersentral di satu titik. Saatnya Maluku Utara membangun dengan adil, dari pulau ke pulau, dari laut ke darat, dari nelayan ke pasar.”
Pernyataan tersebut menjadi penegasan bahwa pemerataan pembangunan berbasis kepulauan dan penguatan sektor unggulan seperti perikanan bukan sekadar wacana, melainkan komitmen politik tertinggi dari pemimpin daerah.
Nelayan Kecil, Infrastruktur dan Lumbung Ikan
Komitmen ini sangat relevan karena fakta geografis dan demografi wilayah. Data di lapangan menunjukkan bahwa sampai saat ini 95 persen usaha perikanan di Maluku Utara masih dijalankan oleh nelayan dan pembudidaya skala kecil. Mereka adalah tulang punggung ketahanan pangan laut kita, namun selama ini justru menjadi kelompok paling rentan.
Masalahnya sangat mendasar. BBM bersubsidi tidak tersedia merata di sentra-sentra produksi. Rantai dingin tidak memadai, padahal sangat penting untuk menjaga mutu ikan. Ketika musim ikan tiba, hasil tangkapan melimpah, tapi karena infrastruktur lemah dan harga anjlok, nelayan kecil malah merugi, bahkan bangkrut.
Baca Halaman Selanjutnya..
Lebih parah lagi, akses pasar masih sangat sulit. Jarak tempuh dari lokasi tangkap ke pasar utama sangat jauh, membuat biaya logistik tinggi dan harga ikan menjadi mahal di pasar ikan hampir semua kabupaten/kota. Problem ini ironis terjadi di provinsi yang kerap dijuluki lumbung ikan nasional.
Sementara itu, industri hilirisasi nikel seperti PT IWIP dan PT Harita membuka peluang pasar besar bagi produk perikanan. Data 2023 mencatat, PT. IWIP membutuhkan hingga 150 ton ikan per bulan, tapi nelayan lokal hanya mampu memenuhi sekitar 40–50 persen. Sisanya harus didatangkan dari luar Maluku Utara.
Yang lebih memprihatinkan, nelayan tidak pernah menjadi penentu harga ikan di pasar. Bahkan dalam banyak kasus, mereka tidak mengetahui berapa harga sesungguhnya ikan dijual di pasar akhir.
Mereka hanya menjual di titik pertama, kepada pengepul atau tengkulak, dengan posisi tawar yang sangat rendah. Artinya, nelayan hanya menjadi penyedia bahan mentah dalam rantai nilai yang panjang, tanpa kendali, tanpa informasi, dan tanpa kepastian kesejahteraan.
Karena itu, visi RPJMD 2025–2029 yang menekankan pengembangan sektor unggulan dan pemerataan pembangunan berbasis kepulauan akan kehilangan makna jika tidak memberi tempat utama bagi sektor perikanan.
Kita tidak bisa bicara ketahanan pangan, keunggulan wilayah dan keadilan antarwilayah jika masayarakat pesisir (nelayan skala kecil) terus tertinggal dan termarjinalkan.
Baca Halaman Selanjutnya..
Langkah Strategis
Ada enam langkah strategis yang perlu diambil dan setidaknya menjadi harapan bagi masyarakat pesisir;
Pertama, Bangun dan hidupkan pelabuhan perikanan di setiap kabupaten/kota sebagai simpul logistik laut (BBM & sembako) dan pusat distribusi ikan.
Kedua, Dorong penguatan sektor budidaya ikan, terutama berbasis potensi lokal yang telah ada, seperti tambak, keramba, rumput laut, hingga teknologi bioflok.
Ketiga, Reformasi kebijakan fiskal provinsi, agar pembagian anggaran ke daerah pesisir mencerminkan kontribusi dan kebutuhan riil sektor perikanan kabupaten kota.
Keempat, Sinkronisasi program pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten/kota agar intervensi Kementerian Kelautan dan Perikanan seperti Kalamo (Kampung Nelayan Modern) dan Kampung Budidaya benar-benar terimplementasi di Maluku Utara.
Kelima, Perkuat posisi tawar nelayan, pembudidaya serta kelompok pengolaha. Kelima, Perkuat posisi tawar nelayan, pembudidaya serta kelompok pengolahan ikan melalui peningkatan SDM.
Penguatan kelembagaan melalui koperasi perikanan, transparansi harga, dan platform pemasaran digital yang memungkinkan nelayan mengetahui harga pasar akhir dan menjual langsung ke industri atau konsumen.
Keenam, Perkuat kapasitas staf penyuluh perikanan melalui peningkatan SDM, penambahan jumlah dan distribusi yang merata di semua sentra produksi perikanan
Baca Halaman Selanjutnya..
Isu Strategis, Bukan Lagi Sektoral
Perikanan bukan lagi isu sektoral, tapi isu strategis dan mestinya menjadi komitmen bersama karena menjadi penentu masa depan Maluku Utara sebagai provinsi berbasis kepulauan.
Jika kita tidak berpihak hari ini, maka di masa depan laut kita hanya akan jadi cerita, bukan lagi sumber kehidupan. Sudah saatnya laut, nelayan, budidaya, pemasar ikan tidak hanya disebut dalam visi, tapi benar-benar menjadi prioritas dalam misi pembangunan di Maluku Utara. (*)
Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Selasa, 20 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/selasa-20-mei-2025.html