Catatan
Jebakan Pembangunan

Konsep “extractive enclave economy” dari James Ferguson menjelaskan, bahwa industri tambang cenderung menciptakan kantong-kantong ekonomi tertutup yang tidak berinteraksi secara produktif dengan masyarakat sekitar.
Jalan tambang dibangun tanpa menghubungkan desa-desa, fasilitas sosial difokuskan pada kepentingan perusahaan, dan orientasi pembangunan lokal dibonsai untuk mendukung kepentingan industri (Ferguson, 2006: 202).
Dalam studi kasus di Papua, Eben Kirksey juga mencatat bahwa pembangunan yang mengikuti logika tambang menciptakan relasi patron-klien baru antara perusahaan dan elite lokal, sementara masyarakat adat kehilangan ruang hidup mereka (Kirksey, 2012: 59).
Pemerintah daerah pun cenderung tersubordinasi dalam struktur relasi kuasa yang ditentukan oleh kepentingan pasar global dan pusat kekuasaan nasional.
Jebakan pembangunan juga tampak dari konstruksi citra “kemajuan” yang diciptakan oleh narasi korporasi dan negara. Pembangunan tambang diiklankan melalui media sebagai modernisasi wilayah terbelakang.
Namun, seperti dicatat Tannia Murray Li, narasi tersebut menyembunyikan praktik eksklusi dan peminggiran yang sistematis. Pembangunan dijadikan proyek teknokratik yang menyingkirkan dimensi politis dari relasi tanah, kerja, dan identitas (Li, 2007: 230).
Lebih dari itu, keberadaan industri tambang kerap disertai dengan peningkatan biaya hidup, konflik horizontal, kerusakan lingkungan, dan erosi nilai-nilai lokal.
Data dari JATAM (2021) menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah konsesi tambang di Indonesia tumpang tindih dengan wilayah kelola rakyat dan kawasan konservasi.
Ini mengindikasikan bahwa pembangunan berbasis tambang tidak hanya berisiko secara ekonomi, tetapi juga berbahaya secara ekologis dan sosiokultural.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar