Republik yang Disandera

Wilson menggarisbawahi bahwa Negara pasca-Orde Baru di Indonesia tidak secara eksklusif dikendalikan oleh institusi formal seperti polisi dan birokrasi, tetapi juga bergantung pada aktor-aktor informal seperti preman, ormas, dan kelompok jalanan yang berfungsi sebagai “aparat bayangan”.

Mereka menjalankan kekuasaan koersif, mempertahankan ketertiban, dan bahkan memfasilitasi agenda politik dan ekonomi elite dengan persetujuan atau toleransi negara.

Wilson menyebut ormas terutama yang menggunakan kekuatan jalanan sebagai bagian dari apa yang disebutnya “protection rackets” atau praktik perlindungan ala mafia, di mana kekuatan digunakan untuk melindungi kepentingan tertentu dengan imbalan tertentu pula.

Ironisnya, praktik ini justru sering berlangsung dengan restu atau pembiaran dari negara. Dalam negara pasca kolonial seperti di Indonesia, aktor aparat negara bukan hanya yang formal seperti polisi, tentara, atau kejaksaan.

Aparat negara juga mencakup aktor informal seperti preman dan ormas yang berfungsi memperluas daya jangkau kekuasaan negara ke wilayah yang sulit dijangkau secara formal.

Dalam konteks ini, ormas yang melakukan kekerasan, intimidasi, atau bahkan pemalakan, bukanlah entitas liar di luar negara. Mereka adalah bagian dari negara yang diperluas secara informal.

Kelemahan institusi formal dan keinginan untuk menjaga “jarak legal” dari tindakan represif yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) merupakan alasan dibalik ini.

Dengan memanfaatkan aktor informal, negara bisa menegakkan kekuasaan tanpa harus mempertanggungjawabkan secara langsung pelanggaran yang terjadi.

Baca Halaman Selanjutnya..

Selanjutnya 1 2 3 4 5

Komentar

Loading...