Memahami Realitas Kurban dan Semangat Berkurban

Penyembelihan hewan kurban secara konvensional tidak bisa disubstitusi dalam bentuk lain, sekalipun dengan nilai yang lebih tinggi.
Nabi Muhammad Saw bersabda dalam sebuah Hadits yang masyhur, “Barangsiapa yang mempunyai kelapangan untuk berkurban, tetapi tidak dilaksanakannya, janganlah dia dekat-dekat ke tanah lapang tempat kami shalat hari raya ini.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dalam hadis lain Rasulullah mengatakan kepada putrinya Fatimah, “Hadirilah kurbanmu dan saksikanlah, sesungguhnya dengan kurban itu engkau akan mendapat ampunan dari dosa yang engkau perbuat pada permulaan tetesan darahnya.” (HR Al-Hakim, Baihaqi, dan Tabrani).
H. M. Yunan Nasution dalam Himpunan Khutbah Idul Fitri dan Idul Adha (1985) memberi ulasan ibadah qurban, sebagaimana halnya dengan ibadah-ibadah lainnya, mengandung dua aspek.
Pertama, aspek ‘ubudiyah, dimana orang yang melakukan sembelihan kurban itu akan mendapat pahala, yang akan menjadi simpanan untuk kebahagiaan dan kenikmatan rohaniah di hari akhirat kelak.
Kedua, mengandung nilai-nilai ijtima’iyah, kemasyarakatan, karena dengan sembelihan hewan kurban itu yang harus dibagi-bagikan sebagian dagingnya kepada kaum fakir miskin dan anak yatim, maka kita telah dapat melaksanakan amaliah sosial, menyantuni orang-orang yang melarat.
Pelaksanaan kurban mengandung makna simbolik menyembelih “sifat-sifat kehewanan” seperti keserakahan dan kerakusan yang merusak kehidupan manusia baik secara pribadi maupun kolektif serta menodai kemuliaan sifat manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Ibadah kurban juga merefleksikan ketaatan manusia kepada syariat Allah Penguasa Tunggal di alam semesta. Dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 37 dinyatakan bukanlah daging hewan kurban dan darahnya itu yang sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya ialah ketakwaan umat yang berkurban.
Baca Halaman Selanjutnya..
Komentar