Site icon MalutPost.com

Pemerataan Fiskal untuk Daerah Kepulauan

Oleh: Nur Lienda
(ASN Widyaiswara Ahli Madya, BPSDM Provinsi Maluku Utara)

Di tengah semangat pembangunan nasional yang berkeadilan, isu pemerataan fiskal kembali menjadi sorotan, terutama bagi provinsi-provinsi dengan karakteristik geografis yang unik atau kepulauan seperti Maluku Utara.

Sebagai provinsi kepulauan, Maluku Utara menghadapi tantangan yang tidak dialami oleh daerah daratan, mulai dari keterbatasan akses transportasi, biaya logistik yang tinggi, hingga kompleksitas pelayanan publik di pulau-pulau kecil.

Provinsi Maluku Utara memiliki karakteristik geografis yang khas: 80% wilayahnya adalah laut, dengan jumlah pulau yang mendekati seribu pulau, baik besar dan kecil, sekitar 80 di antaranya berpenghuni.

Karakteristik ini menempatkan Maluku Utara dalam posisi strategis sekaligus menantang dalam hal pelayanan publik dan distribusi fiskal dari pemerintah pusat.

Menurut data dari Kanwil Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Provinsi Maluku Utara, pada tahun anggaran 2024, total transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang diterima Maluku Utara mencapai sekitar Rp7,8 triliun, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Desa.

Jika dibandingkan dengan provinsi lain yang memiliki karakteristik daratan, alokasi ini tergolong sedang, namun belum sepenuhnya merefleksikan kompleksitas geografis wilayah kepulauan.

Alokasi ini tampak timpang, padahal biaya pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik di wilayah kepulauan jauh lebih tinggi karena faktor jarak, moda transportasi, dan distribusi sumber daya yang tidak merata.

Transportasi Laut sebagai Tulang Punggung

Salah satu isu krusial dalam pelayanan publik di Maluku Utara adalah transportasi laut. Sebagian besar wilayah hanya bisa dijangkau melalui jalur laut dengan waktu tempuh dan biaya yang jauh lebih besar dibandingkan wilayah daratan.

Baca Halaman Selanjutnya..

Hal ini tentunya berdampak langsung pada distribusi logistik, akses pendidikan, layanan kesehatan, serta pengiriman bahan kebutuhan pokok hingga pengawasan kebijakan publik.

Transportasi laut yang belum sepenuhnya aman, nyaman, dan terintegrasi mempengaruhi kualitas layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Satu desa di pulau terluar bisa membutuhkan waktu berjam-jam perjalanan laut untuk mengakses puskesmas atau sekolah menengah terdekat.

Realita ini mempertegas perlunya kebijakan fiskal afirmatif.. Sayangnya, mekanisme penghitungan kebutuhan fiskal belum sepenuhnya memperhitungkan beban biaya ini secara proporsional.

RUU Daerah Kepulauan: Masih Menanti Kepastian

Hingga saat ini, Rancangan Undang-Undang Daerah Kepulauan (RUU DK) masih belum disahkan menjadi undang-undang. Meski sudah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, termasuk tahun 2023 dan 2024, proses pengesahannya masih tertunda.

RUU ini dirancang untuk memberikan dasar hukum dalam pengelolaan wilayah kepulauan serta menjadi payung kebijakan fiskal dan pembangunan yang lebih adil.

Provinsi Maluku Utara tidak sendiri, bersama 7 provinsi kepulauan lain yang juga diusulkan masuk dalam cakupan RUU ini, yakni: Maluku, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara

Provinsi-provinsi ini memiliki kesamaan karakteristik berupa dominasi wilayah laut dan jumlah pulau yang signifikan, yang menyebabkan tingginya biaya pelayanan publik, keterbatasan infrastruktur, serta ketimpangan pembangunan antarpulau.

Baca Halaman Selanjutnya..

RUU DK diharapkan mengakui dan memperhitungkan biaya tinggi pelayanan publik di daerah kepulauan sebagai faktor dalam formula alokasi fiskal.

Hal ini penting agar keadilan fiskal bukan hanya narasi, tetapi menjadi praktik nyata dalam mendukung kemajuan wilayah-wilayah ini secara berkelanjutan.

Perlunya Pendekatan Fiskal Kewilayahan

Ke depan, kebijakan fiskal nasional harus lebih adaptif terhadap kondisi wilayah. Pemerintah pusat perlu menerapkan pendekatan asymmetric fiscal decentralization.

Desentralisasi fiskal asimetris adalah pendekatan distribusi keuangan yang serta merta tidak seragam antar daerah, melainkan disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan unik masing-masing wilayah. Untuk karakteristik kepulauan perlu mempertimbangkan:

1. Biaya distribusi layanan antar-pulau yang lebih mahal
2. Frekuensi dan durasi layanan publik yang tidak dapat disamakan dengan daerah daratan
3. Ketergantungan pada moda laut dan cuaca sebagai variabel penentu pelayanan

Ini tentunya berbeda dari pendekatan simetris yang memperlakukan semua daerah secara sama dalam pembagian fiskal, tanpa mempertimbangkan tantangan geografis atau ketertinggalan pembangunan.

Dalam konteks Maluku Utara dengan wilayah laut yang dominan, banyak pulau kecil, dan konektivitas antar wilayah yang sangat tergantung pada transportasi laut pendekatan asimetris sangatlah penting.

Biaya pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan logistik di wilayah kepulauan jelas lebih mahal dibandingkan di daratan. Oleh karena itu, daerah seperti Maluku Utara membutuhkan formula alokasi fiskal yang memberikan afirmasi atas kesulitan geografis ini.

Baca Halaman Selanjutnya..

Negara-negara seperti Filipina dan Kanada telah menerapkan model desentralisasi asimetris ini, memberi otonomi dan alokasi fiskal khusus untuk provinsi-provinsi dengan kondisi geografis ekstrem atau kebutuhan pembangunan yang lebih besar.

Indonesia, melalui RUU Daerah Kepulauan, diharapkan mengarah ke sistem serupa memberikan perlakuan fiskal khusus untuk menjamin layanan dasar tetap terpenuhi secara adil di seluruh pelosok negeri.

Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan juga (bersama) provinsi-provinsi kepulauan lainnya juga diharapkan dapat lebih aktif menyuarakan kebutuhan fiskalnya melalui dokumen perencanaan dan penganggaran berbasis kewilayahan.

Penutup

Keadilan fiskal tidak cukup hanya diwujudkan dalam angka transfer, tetapi harus hadir dalam bentuk kemampuan daerah untuk memberikan pelayanan publik yang setara.

Sudah saatnya pemerintah pusat memperhitungkan realitas geografis dalam menyusun kebijakan fiskal. Maluku Utara dan provinsi kepulauan lainnya tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan daerah daratan. Butuh pendekatan yang inklusif dan responsif terhadap tantangan laut dan pulau-pulau yang memisah.

Pengesahan UU Daerah Kepulauan akan menjadi langkah strategis untuk memastikan keadilan fiskal yang berkelanjutan.

Karena keadilan bukan sekadar jumlah yang dibagi rata, tapi sejauh mana pembagian itu mampu menjawab kebutuhan nyata tiap wilayah. Karena Indonesia bukan hanya Jakarta dan pulau Jawa, melainkan juga ribuan pulau yang menunggu dijangkau oleh keadilan anggaran.

Akhirnya, tulisan ini sekedar menjadi pengingat bersama bagi kita, khususnya para pengambil kebijakan bahwa, kita dengan kondisi alam yang melekat dengan segala keunikannya haruslah dipertimbangkan dan diperhatikan. Menjadi anugerah kah, tantangan kah, cobaan kah atau bahkan hambatan kah, semua ada di”tangan” kita. (*)

Opini ini sudah terbit di koran Malut Post edisi. Rabu, 14 Mei 2025
Link Koran Digital: https://www.malutpostkorandigital.com/2025/05/rabu-14-mei-2025.html

Exit mobile version