Jual Beli Lahan dan Nasib Masyarakat di Area Tambang Halmahera Tengah

LAHAN: Sebagian besar lahan di Desa Sagea telah dikuasai perusahaan tambang. Sepanjang jalan menuju kawasan wisata Sungai Sagea ini dulunya milik warga, kini telah dilepas ke perusahaan tambang.

Perubahan Kawasan Industri PT IWIP, Ancam Ruang Hidup Warga

Kawasan industri IWIP yang sebelumnya hanya seluas 4. 027,67 hektare berubah menjadi 13.784 hektare ini ditetapkan dalam perubahan Peraturan Daerah (Perda) RTRW No 3 Tahun 2024 termaktub dalam Bab VI tentang Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten, Paragraf 6 pasal 38 (1) yang membahas Kawasan Peruntukan Industri   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e, mengalami penambahan luasan menjadi  13. 784 hektare. Kawasan industri ini berada di  Kecamatan Weda Tengah, Kecamatan Weda Timur, dan Kecamatan Weda Utara. Peruntukan industry sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Kawasan Industri Weda Bay.

Untuk kawasan industri ini, pihak IWIP awalnya mengusulkan penambahan lahan menjadi 15.517 hektare. Namun  diakomodir dan tertuang dalam RTRW perubahan seluas 13.784 hektare. Perluasan ini, oleh pemerintah daerah dianggap sebagai bagian dari menindaklanjuti kebijakan nasional untuk pengembangan Kawasan Industri Teluk Weda, yang tercantum dalam RPJMN.

Perluasan kawasan industri ini membuat warga kian cemas. Saat ini saja lahan pertanian dan perkebunan terutama di daerah lingkar kawasan industri sudah tergerus habis. Kedepannya dipastikan bakal kian parah. Saat ini  di ujung Selatan Desa Gemaf yang dulunya memiliki kawasan hutan mangrove  telah berubah menjadi pusat kawasan industri. Begitu juga dengan hutan sagu di Sagea yang merupakan cadangan pangan warga lokal kini telah masuk konsesi izin tambang. Luasan Kawasan hutan sagu ini diperkirakan mencapai 50 hektare.

Sementara perkebunan kelapa dan pala milik warga Sagea, sebelum ditetapkan masuk kawasan industry saja, sudah nyaris habis. Di desa ini 7 warga masih mempertahankan perkebunan mereka. Sisanya sudah dijual ke tambang.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Halteng Munadi Kilkoda mengakui, perubahan RTRW Halmahera Tengah itu diajukan sejak masa kepemimpinan Bupati Edi Langkara sekira 2018.  Hanya saja pembahasannya terkatung-katung, karena ada masalah tapal batas yang belum diselesaikan. Kala itu, DPRD masih berpegang pada Undang- undang  yang mengatur tapal batas. Namun proses pembahasan ini dikebut saat Halteng dipimpin Pj Bupati Ikram Malan Sangadji.

Dalam usulan perubahan  dokumen RTRW ini, Munadi bilang, Ikram ngotot mendesak DPRD mempercepat perubahan Perda RTRW  2012-2032  yang akhirnya disahkan menjadi Perda Nomor 3 Tahun 2024-2043. Desakan ini agar RTRW mengakomodir kepentingan usulan penambahan luasan kawasan industri Weda.  “Pejabat bupati kala itu terlibat secara langsung mendorong agar ada perluasan kawasan industri. Dia beberapa kali mengundang pihak IWIP  terlibat dalam rapat-rapat soal RTRW. Saya pernah protes meminta pihak IWIP tidak diikutkan dalam rapat pembahasan  RTRW,” aku Munadi Kilkoda Wakil Ketua DPRD Halteng.

Dalam pembahasan revisi RTRW tersebut ada yang tidak beres. Sejumlah anggota DPRD Halteng yang awalnya menyepakati perubahan luasan kawasan industri Weda dari 4 ribu hektare lebih menjadi 8 ribu hektare, namun setelah ada pertemuan DPRD dengan PT IWIP di Ternate,  luasan kawasan industri mau dirubah menjadi 15 ribu hektare. Namun kemudian, disepakati menjadi 13 ribu hektere lebih seperti yang tertuang dalam Perda RTRW.

“Saat pembahasan hingga diubahnya luas kawasan industri seluas itu tidak melibatkan saya. Padahal saya termasuk anggota Bapemperda Halteng,” ungkapnya.

Baca halaman selanjutnya ...

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...