Jual Beli Lahan dan Nasib Masyarakat di Area Tambang Halmahera Tengah

LAHAN: Sebagian besar lahan di Desa Sagea telah dikuasai perusahaan tambang. Sepanjang jalan menuju kawasan wisata Sungai Sagea ini dulunya milik warga, kini telah dilepas ke perusahaan tambang.

Mahmud Ali warga Sagea menyebutkan, sebagian besar lahan warga di belakang kampung Sagea telah dijual. Tak ada standar harga.

"Tidak ada patokan harga. Lahan milik saya ada standar harga tertera di dalam sertifikat yaitu, Rp25 000 per meter, tapi harga yang perusahaan tawarkan di bawah itu, jadi kami tidak mau jual," katanya.

Warga sebenarnya menyadari pentingnya mempertahankan lahan sejak izin PT Weda Bay Nickel masuk di Teluk Weda, Halmahera Tengah. Adanya konsesi ini menyebabkan mereka kehilangan akses ke kebun yang telah mereka dikelola secara turun- temurun. Mereka juga kehilangan akses ke hutan untuk mencari berbagai kebutuhan. Awalnya, hanya tiga komunitas masyarakat adat Sawai di wilayah konsesi, yang terkena dampaknya yaitu Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf. Namun saat ini, hamper seluruh desa suku Sawai telah masuk area konsesi.

"Setiap wilayah pasti memiliki nilai (NJOP) berbeda. Weda Tengah sampai ke Weda Utara ini masuk kawasan industri harusnya lebih tinggi," kata Masri Anwar, warga Desa Sagea yang juga ikut mempertahankan lahan kebun orang tuanya.

Anggota DPRD Halteng Munadi Kilkoda bilang perusahaan dalam membebaskan lahan warga tidak berdasarkan NJOP. Padahal lahan tersebut masuk pada kawasan strategis yang memiliki harga nilai jual yang tinggi. Namun yang terjadi harga jual lahan hanya berdasarkan negosiasi perusahaan dengan warga. Bahkan pemerintah desa kadang bekerja sama dengan pihak perusahaan agar mau mendorong warga menjual lahan dengan harga sangat rendah. Untuk penjualan tanah harus dilengkapi SKT dari desa. Dalam surat SKT itu sudah tertera luasan lahan dan harga. Pembuatan SKT sebesar Rp100 ribu bahkan lebih tergantung dari luasan lahan yang akan dijual. Selain itu aparat desa yang mengurusnya penjualan lahan itu juga mendapatkan imbalan.

Akhir tahun lalu, tim penulis mencoba menelusuri berapa besaran NJOP untuk kawasan lingkar tambang di Halteng, ke BPN Wilayah Malut, BPN Halteng bahkan ke pemerintah daerah hingga Kantor Pajak dan Kantor Perbendaharaan Negara. Namun semua instansi ini terkesan berbelit-belit. Mereka saling lempar soal keberadaan dokumen tersebut.  Bahkan saat tim mendatangi kantor BPN Halteng, beberapa staf yang ditemui beralasan para pejabat berwenang tidak berkantor.

“Kami tidak bisa melayani karena  para pejabatnya juga tidak ada,” kata Warno salah satu staf yang menjaga kantor BPN di  Desa Nurweda, Kecamatan  Weda Tengah, Halteng.

Baca halaman selanjutnya ...

Selanjutnya 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Komentar

Loading...